12. Berdamai dengan Keadaan.

25.4K 2.5K 413
                                    

"Tadi aku hanya menakutimu. Aku berbohong Flo, pria manapun pasti mau denganmu." Pramuda mencoba menenangkan wanita itu dalam pelukan dengan meralat kembali ucapannya.

Flopia tidak memberikan respon apapun. Hanya suara tangis sesenggukan yang keluar dari bibir merah muda itu. Baginya kehilangan mahkota berharga yang dia jaga selama ini adalah kehancuran dan aib hidupnya. Harusnya keperawanan itu dia berikan hadiah untuk suaminya kelak. Pramuda adalah pria yang dia cinta. Flopia berpikir, pria itulah yang akan menjaga dan melindungi dirinya dari orang-orang jahat, namun ternyata dia salah. Justru pria itu yang begitu tega merenggut kesucian yang dia jaga selama ini.

Flopia bisa saja mengadukan Pram ke polisi dan memenjarakannya. Tapi dia berpikir lagi, ada banyak hal yang harus dia jaga. Diantaranya nama baik kedua orang tuanya. Terutama Papanya yang seorang anggota DPRD. Lalu nama baiknya sendiri di kampus. Jadi saat saat ini, Flopia merasa terpojok sekaligus bingung harus melakukan apa.

"Aku mau pulang ke kontrakan."

Pram menunduk dan menangkup wajah wanita itu. "Nginap di sini saja, besok aku antar pulang."

"Besok pagi aku harus ke kampus."

"Iya akan aku antar ke kampus juga."

"Aku nggak punya baju ganti."

"Pakai baju aku."

Flopia mendesah. Dia benar-benar tidak ingin berada di dekat Pram saat ini. Dia berpikir keras untuk menolak ajakan Pram yang menyuruhnya untuk menginap di sini tanpa harus membuat pria itu marah.

"Tapi aku nggak punya pakaian dalam," Ujarnya pelan.

"Aku akan membelinya, jadi sekarang pergilah mandi." Lalu Pram memberikan kecupan di bibir Flopia sebanyak tiga kali. "Jangan nangis lagi ya."

Pram bangkit berdiri dan berjalan ke arah lemari untuk mengambil kaos yang cocok untuk Flopia. Kemudian kaos itu dia letakkan di atas ranjang.

"Aku pergi sebentar untuk membeli keperluanmu dan makan malam kita," Serunya sambil menutup pintu kamar.

Flopia berjalan ke kaca jendela kamar itu dan mengintip mobil Pram yang sudah menjauh. Setelah memastikan pria itu pergi, dia berjalan ke pintu. Sesekali Flopia meringis karena ada rasa nyeri di sekitar miliknya. Terpaksa dia harus berjalan sedikit melebar, berharap dapat mengurangi rasa sakit tersebut.

Keningnya berkerut karena tangannya tak berhasil membuka pintu kamar. Ternyata Pram menguncinya dari luar. Pria itu tahu, kalau Flopia akan mencoba untuk melarikan diri.

"Brengsek!" Umpatnya kesal. Lalu dia memutuskan untuk mandi dan membersihkan tubuhnya. Dengan berat hati, Flopia terpaksa harus menginap di rumah Pramuda.

Sekitar dua puluh lima menit pria itu kembali dengan membawa beberapa kantong belanjaan. Begitu selesai makan malam, Pram memberikan pil yang berisi levonorgestrel untuk Flopia.

"Apa ini?" Tanya Flopia bingung.

"Itu obat kontrasepsi darurat. Biasa diminum sebelum 72 jam setelah berhubungan seksual. Aku lupa memakai pengaman bersamamu tadi siang."

"Bukannya kamu mengeluarkannya di luar?"

"Iya. Tapi untuk berjaga-jaga saja Flo. Takut ada setetes cairan yang masuk ke dalam sebelum aku menariknya keluar. Kamu belum mau hamil kan?"

Flopia mengangguk. "Aku belum siap hamil. Aku masih ingin kuliah dan mencari kerja."

"Nah obat ini dapat mencegah pembuahan. Ada dua pil, yang pertama kamu minum sekarang. Nanti dua belas jam kemudian kamu minum pil yang kedua," Jelas Pram sambil memberikan pil pertama itu di tangan Flopia.

Hello, Flopia!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang