23. Setetes Asa.

44.8K 3.8K 1K
                                    

Flopia pernah merasa bahagia saat-saat bersama Pramuda, tapi semua terasa sakit saat pria itu meninggalkan dia.

Flopia pernah menaruh harapan kepada Pramuda, tapi semuanya sirna saat pria itu mengkhianati dia.

Cinta Flopia kepada Pramuda itu ibaratkan menggenggam setangkai bunga mawar. Semakin keras dia genggam, maka akan semakin terasa duri yang menusuk padanya.

Namun semuanya sudah terjadi. Flopia tidak bisa menyesali itu. Karena apa yang ia alami sekarang ini adalah hasil keputusan dulu saat menerima pria itu menjadi kekasihnya.

Flopia menghela napas begitu taksi yang ia tumpangi berhenti di depan kontrakan Langit. Wajahnya tampak pucat begitu turun dari taksi. Malam ini dia singgah sebentar untuk pamit pada sahabat prianya itu.

Merasakan sedikit nyeri, Flopia pun berjalan sambil memegang perutnya. Setelah mengetuk beberapa kali, akhirnya pintu kontrakan terbuka lebar. Namun bukan Langit yang berdiri di sana, melainkan Naomi.

"Ada apa?" Tanya Naomi.

Flopia tetap tersenyum walaupun wajah Naomi tidak terlihat bersahabat padanya. Naomi masih menganggap Flopia saingan terberat yang berpotensi merebut Langit darinya. "Hai Naomi. Hem... aku cuma mau----"

"Langit lagi sibuk dengan skripsinya. Jadi tolong, jangan bebankan dia untuk mendengarkan curhatanmu. Aku ngerti kamu itu sahabatnya. Tapi aku beneran cemburu Flo, kalau lihat kamu dekat dengan Langit. Kamu paham kan perasaan seorang wanita kayak gimana?"

Flopia menghela napas panjang. Lalu dia meraba isi tasnya dan mengeluarkan sebuah surat. "Baiklah aku mengerti Naomi. Aku minta tolong boleh? Tolong suruh Langit untuk memberikan surat ini untuk abangnya Pramuda. Aku tidak bisa menghubunginya dan dia pun tidak mau bertemu denganku. Jadi aku titip surat ini untuknya."

Dahi Naomi sedikit berkerut kala menerima surat yang diberikan Flopia. "Ya. Nanti akan aku berikan."

"Terimakasih Naomi." Flopia tersenyum lagi. "Dan sampaikan salamku pada Langit juga ya."

"Tunggu..." Panggil Naomi begitu melihat Flopia hendak berbalik pergi. "Wajahmu terlihat pucat sekali. Apa kamu baik-baik saja?" Tanya Naomi sedikit khawatir dengan keadaan fisik Flopia.

"Iya. Aku baik-baik saja. Aku permisi dulu." Flopia mengakhiri pembicaraan itu karena dia tidak tahan untuk berdiri lebih lama lagi. Dia butuh istirahat yang banyak.

Setelah Flopia pergi, Naomi menutup pintu kontrakan sambil menatap surat yang ada di tangannya. Dia merasa tidak enak karena memberi kesan jutek pada wanita itu. Lalu Naomi langsung menghampiri Langit di dalam kamar yang sedang fokus menatap layar laptop dengan beberapa buku berserakan di sampingnya.

"Siapa yang datang?" Tanya Langit.

"Flopia."

Gerakan jari-jari tangan Langit langsung terhenti di atas keyboard laptop. Dia menoleh ke arah Naomi. "Terus dia kemana? Udah suruh masuk ke dalam?"

"Maaf Lang, kamu tahu kan aku cemburu kalau lihat dia dekat sama kamu. Jadi tadi aku sedikit jutek ke dia. Terus dia titip surat ini untuk kasih ke bang Pram."

Langit menatap surat yang masih tertutup rapi tersebut. "Kenapa harus pakai surat?"

"Nggak tahu." Naomi mengedikkan bahunya. "Tadi dia pucat banget mukanya. Aku yakin ada sesuatu yang dia tutupi dari semua orang."

Tiba-tiba Naomi terkejut saat melihat Langit membuka surat Flopia tadi. "Itu kan untuk bang Pram, kenapa jadi kamu yang baca?"

Langit menghiraukan pekikan kekasihnya dan membaca serius surat yang ada di hadapannya. Naomi mengamati perubahan ekspresi di raut wajah Langit setelah membaca surat tersebut. "Ada apa Lang? Apa isi suratnya?"

Hello, Flopia!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang