Wajah kusut, rambut acak-acakan, dan kantung mata hitam mungkin itu yang mendeskipsikan keadaan Gia sekarang. Setelah pulang dari rumah sakit Gia menangis sejadi-jadinya. Dia memilih menginap di rumah Ifa dari pada pulang ke rumahnya. Gia baru saja keluar dari kamar mandi. Gadis itu mencuci mukanya tapi, tidak terlihat segar sama sekali. Jam juga sudah menunjukan pukul satu siang dan Gia kembali berbaring dikasur Ifa.
"Lo kebo banget sih," Ifa menarik tangan Gia, berusaha membangunkan.
Gia mengerang. "Apasih?! Ganggu!"
Ifa mendelik. Ia memukul pantat Gia. "Ganggu-ganggu! Bangun sih Gi!" Gia nyengir sambil menunjukan dua jari yang disebut simbol peace. "Temanin gue cari kaos dong."
Gia menggeleng.
"Aaaah ... ayolah Gi." Ifa mulai merengek menganggu Gia.
Gia mengacak rambutnya kesal, ia bangun dari tidurnya lalu duduk sambil menundukan kepalanya.
"Ya? Temanin ya?"
***
Capek. Rasanya pegal sekali kalau tidak mood belanja tapi, dipaksa muter-muter semua toko baju yang ada di dalam mall. Hal itu bisa jadi seru kalau berada dalam mood yang bagus. Gia menyandarkan tubuhnya di samping pintu ruang ganti yang dipakai Ifa. "Faaa?" Panggil Gia entah untuk yang keberapa kali karena, sudah lima belas menit lebih Ifa belum juga keluar.
"Faa... Jan boker Fa," ujar Gia frustasi.
Tak lama pintu itu terbuka. "Ngaco!"
Ifa berjalan santai menghampiri seorang pegawai di toko itu. "Mbak ini yang ukuran M gak ada?"
Pegawai itu memeriksa baju yang diberikan Ifa lalu bertanya pada pegawai lainnya. "Maaf mbak tinggal satu ukuran aja," jelas pegawai begitu kembali.
Raut wajah Ifa berubah menjadi sedih. "Yah, yaudah deh mbak."
Gia mengumpat dalam hati, itu artinya dia harus mengeluarkan tenaga ekstra.
"Yuk, Gi. Ke toko yang tadi ya," Ifa mengamit lengan Gia. "Gue jadinya beli kaos yang tadi deh."
Setelah dua jam Gia mengekori Ifa. Kenapa dua jam? Ternyata Ifa tidak hanya mancari kaos tapi juga sepatu, tas, parfume, dan kaos kaki unyu laknat yang tidak ketemu-ketemu karena, Ifa lupa letak tokonya. Sekarang mereka istirahat di foodcourt. Gia menyeruput jucosnya penuh nikmat.
"Minggu kemarin gue lihat kaos kakinya!"
"Ya, lo lupa tempatnya juga!"
"Tapi, unyuuu Gia."
"Ya kalau gak nemu masa gue harus buatin?"
Ifa mencibir, ingin sekali dia mengetok kepala Gia supaya benar tapi, tidak jadi. Gia sedang patah hati, kasihan. "Lo gak bawa hp, Gi?" tanya Ifa, biasanya kalau sedang capek begini paling enak buka-buka instagram, liatin group chat. Tapi, kali ini Gia malah melamun.
Gia menggeleng.
"Lo belum bales chatnya Kak Jordan?"
"Nanti."
Ifa mengangguk, tidak mau bertanya lebih dalam lagi karena, dirasa Gia masih belum mau menceritakan perasaannya ditambah lagi memikirkan saran dari Bima kemarin. Ifa sepenuhnya mendukung saran dari Bima tapi, jika menjauh dari Jordan malah membuat Gia makin murung Ifa tidak akan mendukung saran Bima. Sampai sekarang Gia masih belum mengatakan apa-apa tentang hal itu. Disisi lain Ifa juga kasihan melihat Jordan yang berkali-kali menelpon Gia tapi tidak diangkat dan ujungnya Gia menonaktifkan ponselnya.
"Gi?"
"Hm?"
"Udah kan capeknya? Muter sekali lagi yuk!"
KAMU SEDANG MEMBACA
From The Start
Teen Fiction[ C o m p l e t e ] Feel close but, distant fact. || Pemenang Wattys 2017 Kategori The Storysmiths || Copyright 2017, Nabila Wardani - All Rights Reserved.