"Ayo semuanya maju!" Perintah Shannon.
Kami berpencar dan membersihkan para makhluk ini dengan acak. Kadang, aku membantu Theo dan kadang aku membantu Astrea. Bahkan tak jarang kalau Shannon membantuku jika aku dalam bahaya. Rasanya tidak memiliki kekuatan apa-apa terasa mengecewakan, tapi aku harus dapat meyakinkan kembali Theo. Aku harus mendapatkan kekuatan itu kembali, demi yang sedang menunggu kami.
"Nona! Merunduk!" Perintah Theo.
Aku merunduk seraya melihat Theo yang melemparkan sebuah bola api berwarna emas ke arah sisa ghoul yang ada di ruangan ini. Lantas, seluruh ghoul yang ada di ruangan ini kini sudah lenyap dan kembali ke alam mereka yang seharusnya.
"Kita berhasil!!! Boom!!!" Sorak Astrea dengan gembiranya.
Kami semua bersorak gembira karena sudah bertahan hidup dari ghoul yang jumlahnya ratusan lebih. Kami saling berpelukan untuk merayakan kesuksesan kami, kecuali Theo.
Setelah istirahat sejenak, Theo mendekatiku yang sedang duduk di luar lobi. Aku yang sedang menikmati udara segar menawarkan Theo untuk duduk di sebelah kananku. Theo mengangguk dan menerima ajakanku untuk duduk bersama layaknya sepasang 'kembaran'.
"Theo, kenapa baru muncul sekarang?" Tanyaku dengan penasaran.
Theo tersenyum sambil mengeluarkan nafas kecil dari hidungnya.
"Karena, kau nyaris dikuasai oleh aura Athlioth." Kata si rambut pirang.
"Eh? Kenapa bisa seperti itu?"
"Tomino sudah pasti berada di atas, aku sangat yakin. Aura yang dihasilkan oleh Tomino mulai meganggu nalar dan kondisi psikismu. Ia membuatmu mengeluarkan sifat asli manusia yang terpendam di dalam dirimu. Kau mendengar sebuah suara bukan?" Tanyanya.
"Ah iya, aku mendengar sebuah suara yang tercampur. Apakah itu suara Tomino?" Tanyaku.
"Bukan juga sih, itu seperti suara dari keputusasaannya. Kira-kira seperti itulah. Dia sangat ingin kau untuk tidak ikut campur. Mungkin, jauh di lubuk hatinya, ia masih sangat mencintaimu. Sama seperti diriku." Katanya dengan santai.
Aku yang hanya dapat diam seribu kata merasa sangat malu. Mungkin, wajahku saat ini terlihat merah seperti rambut Astrea.
"Aku hanya bercanda, saudariku." Ujar Theo tertawa kecil.
Theo melepaskan werkzeug miliknya dan memasangkannya kembali ke tangan kananku.
"Once again, i've sworn my loyalty to thee, my true self. Hence, i will once again become thy sword which forever open the path of thy destiny"
"I accept."
Theo tersenyum manis sebelum pada akhirnya ia kembali memasuki werkzeug yang aku miliki. Theo, aku tidak akan mengecewakanmu, wahai saudaraku.
Kutempatkan tangan kananku di atas dada sembari memejamkan mata dan berdoa untuk keselamatan kami semua.
"Hei Adelicia, ayo kita lanjutkan!" Panggil Astrea.
Aku berdiri dan menghadapi kedua temanku yang sangat berharga. Aku mengangguk dan mengikuti mereka menaiki tangga yang... sangat banyak.
Letih dan badan yang pegal ternyata terasa jauh lebih buruk dari ditinju oleh ghoul. Aku sangat haus dan ingin sekali minum.
"Shan, ada minum?" Tanyaku.
"Tidak, tidak ada. Aku juga hauuuus... aku ingin meminum air.... Astrea sayang, kau punya air??" Tanya Shannon dengan lemas.
"Jangan panggil aku sayang! Dan tidak, aku tidak punya." Jawab Astrea.
Terasa, akhirnya kami sampai di lantai atas. Sesampainya di lantai atas, kami langsung berbaring sambil meregangkan tubuh kami yang letih.
"Ahhh.... Astrea sayang, aku lelah..." Keluh Shannon.
"Jangan panggil aku sayang! Dasar bocah."
Kami memang sudah berada di lantai atas. Langit yang berwarna ungu kini terlihat sangat dekat. Petir yang menghambar di sekitar kami terkadang muncul dan terkadang tidak. Kami berada di sebuah ruang yang luas, namun kosong. Hanya ada lantai berbahan metal berwarna hitam dengan pembatas yang mencegah kami jatuh ke bawah. Batas ini merupakan tirai besar yang kami lihat dari Alstadt.
"Wah wah wah wah, sangat tidak disangka-sangka."
Aku mengangkat tubuhku dan berdiri tegak. Aku menghadap ke sumber suara yang berada di tengah-tengah ruang, hanya untuk menemukan si pelaku utama.
"Murcielago!" Panggilku.
Murcielago yang asyik memakan keripik kentang memandangku dengan mata yang sadis. Ia melempar bungkusan keripik kentang itu ke samping.
"Halo anak William! Bagaimana keputusasaan yang baru saja kau dapat??" Tanyanya.
"Sayangnya, aku berhasil melawannya." Kataku dengan sarkas.
Murcielago mengangguk-ngangguk dengan cepat. Ia lalu berjalan ke kanan dan kiri sambil berfikir.
"Kau kemari untuk apa??" Tanyanya.
"Untuk menghentikanmu!" Jawabku dengan terus terang.
Astrea dan Shannon kembali berdiri tepat di sisiku. Kami bertiga memandang Murcielago dengan tajam. Dan dia, si badan hitam itu, hanya bertingkah santai tanpa merasa ketakutan sedikitpun.
"Untuk menghentikanku?" Tanyanya dengan menghentikan langkah. "Munafik. Kalian semua munafik. Kalian kemari hanya untuk menyelamatkan Tomino bukan?" Tanyanya sambil melihat kami dengan senyumnya yang besar.
"Itu..." Kataku dengan bingung.
Memang, aku kesini untuk menyelamatkan Tomino. Sebagian fokusku memang untuk dirinya. Tak satupun dari kami mampu untuk melawan ucapannya yang memang benar adanya.
"Tomino! Mereka menunggumu! Urusi mereka dulu, setelah itu kau bebas bertarung melawanku" Teriak Murcielago.
"Untuk kali ini, aku akan membantu." Ujar sebuah suara yang menggema.
Murcielago menjetikkan jarinya dan kemudian menghilang dengan meninggalkan asap ungu yang kecil.
"Aku tidak menyangka, kau kini berdiri di depanku sebagai musuh." Kata suara itu lagi.
Sebuah uap berwarna hitam muncul di tengah ruang ini. Uap ini menghasilkan tekanan angin yang agak kuat. Aku dan yang lainnya menutupi wajah kami agar tidak terkena hal apapun yang dapat melukai. Setelah beberapa saat, uap itu hilang dan menunjukkan seseorang yang telah kunanti-nantikan.
"Wah, si bocah keluar juga!" Ujar Astrea sambil tertawa semangat.
"Kyaaaaa kau tampan sekaliiii...." ujar Shannon dengan cerianya. "Sayangnya, aku harus merusak wajah tampanmu itu demi kebaikan kita semua!" Lanjut Shannon dengan tegas.
"Sudah lama ya, kita tidak bertemu. Aku sangat rindu kepadamu, Tomino." Kataku sambil tersenyum.
Si rambut putih mulai melangkah dengan gagah. Setiap langkah yang ia hasilkan membuat setiap suara yang ada menjadi sunyi senyap. Kesunyian yang abadi kini mengisi ruang dan dimensi. Seorang yang membawa setiap dosa dan kejahatan di bumi kini mengunci pandangannya kepada kami dengan matanya yang berwarna hitam dan merah seperti darah. Auranya yang terasa ringan namun tidak terbatas terasa agung. Di sini kami berdiri, bertemu dengan keputusasaan itu sendiri. Di sini, kami berdiri di hadapan dewa
KAMU SEDANG MEMBACA
Tenebris
Fantasy(18+) Genre: Dark Fantasy, Romance, Psychological Emosi negatif adalah sebuah kutukan yang dilahirkan dari sisi tergelap manusia, semua orang memilikinya. Namun apa yang terjadi jika emosi itu dapat merubah seseorang menjadi makhluk keji yang tidak...