VI: The Bearer of Despair, Hanabusa Tomino

11 3 1
                                    

Panas. Itu yang mendadak aku rasakan. Namun, aku tidak merasa sakit. Tidak logis memang. Tubuhku seperti terbakar, namun aku tidak merasa seperti akan terpanggang hidup-hidup, hanya panas biasa.

Gelap. Itu yang mendadak aku lihat. Namun, aku tidak merasa kesepian. Lagi, tidak logis. Aku jelas melihat api yang luar biasa tebal dan hitam, namun aku tidak peduli dengan kegelapan ini. Layaknya hatiku, dunia serasa gelap dan jahat.

Dendam, itu yang mendadak aku rasakan lagi. Namun, aku merasa tenang. Hatiku bergetar hebat namun bukan karena hal melankolis seperti cinta, melainkan perasaan dendam yang seperti siap meletus layaknya gunung berapi. Hanya saja, kali ini perasaan dendam ini terasa begitu nikmat dan... menggambarkan diriku dengan cukup.

Iri, itu yang mendadak aku rasakan untuk pertama kali. Iri karena apa? Apa karena Adelicia? Aku tidak tahu pasti. Yang jelas, aku sangat iri. Bukan, aku dengki. Sangat dengki.

Marah, itu yang mendadak meluap-luap di hatiku. Jika dibandingkan dengan api ini, api ini bukanlah apa-apa. Kemarahanku lebih dari api ini. Jauh lebih panas dari api neraka sekalipun.

Keputusasaan, ah ini lah perasaan yang menggambarkanku secara sempurna. Aku merasa betapa tak berdaya. Tidak ada harapan di kegelapan ini. Kegelapan yang hanya berisi kesunyian, kekosongan yang secara utuh menggambarkanku.

Panas yang kurasa mendadak hilang. Kulihat keadaan di sekelilingku yang hanyalah berwarna hitam gelap. Aku menunduk dan melihat kedua tanganku yang sehat dan utuh.

"........"

Suaraku tidak bisa keluar. Aku mencoba untuk mengatakan sebuah kalimat, namun aku tidak dapat mendengarnya.

Apakah ini adalah sebuah gambaran? Gambaran di mana aku, orang yang sekarang sudah tidak penting, sudah tidak ada lagi yang mau mendengarkanku? Hanya karena aku kehilangan tangan kananku, aku dengan mudahnya dapat dibuang.

Aku mencoba untuk berjalan, namun kakiku tidak mau untuk bergerak. Setelah kupahami, hanya tubuh bagian atasku yang dapat bergerak.

Kenapa aku tiba disini? Bukankah, barusan... aku sedang bersama Adelicia?

Perlahan, ruangan yang sedang aku tempati mulai bercahaya. Cahaya itu semakin terang dan membuatku dapat melihat alam sekitarku dengan sangat jelas.

"Ini...di mana?" Tanyaku dengan terkejut.

Aku tersontak dan langsung memegang leherku dengan tangan kananku yang baru saja aku dapatkan kembali. Suaraku keluar dengan lancar. Aku makin bingung saja. Aku tidak tahu aku di mana dan aku tidak tahu aku kenapa. Sensasi yang kurasa barusan, seperti khayalan yang ada ketika sedang mendengarkan guru di dalam kelas.

Tunggu, apa itu "kelas" yang barusan aku katakan? Kosakata apa itu? Hal apa itu?

"Baik anak-anak! Buka halaman 1456!" ujar seorang pria yang ada di depan.

Seluruh orang yang sedang duduk di bangku dengan malas membuka buku yang luar biasa tebal. Ada yang sambil melihat keluar jendela, ada juga yang memutuskan untuk tidur setelah membuka buku tebal itu.

"Kerjakan nomor 1 sampai 15 dalam waktu 1 jam! Saya harus ke ruang guru untuk mengurus sesuatu." Ujar si pria.

"Sensei, soal ini terlalu susah!" ujar seorang remaja laki-laki yang duduk di paling depan.

"Kalau tidak ada pertanyaan, saya permisi" ujar si pria yang disebut sebagai "sensei" itu. Pria itu keluar dan mengacuhkan murid-muridnya.

TenebrisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang