Lima

11.9K 1.4K 88
                                    


"Aku rasa kita tidak punya urusan lagi," kata Nessa dengan suara tinggi, bernapas kasar karena kesal, sementara matanya menatap marah pada Bagas yang tengah menyetir dengan tenang dan nyaman, sepertinya dia sangat peduli keselamatan.

'Tidak, dia mengejekku,' pikir Nessa.

"Tapi, kenapa kamu harus menculikku seperti ini, Bagas." lanjut Nessa.

Hening tak ada jawaban.

"Bagaaaas!!!" teriak Nessa karena Bagas seperti tak mendengarnya.

Bagas pun menoleh tapi tak berucap apapun, pandangan mereka bertemu dan Bagas hanya tersenyum penuh arti, membuat Nessa harus memalingkan wajahnya. Senyum dan tatapan itu mengandung racun yang bisa memabukkan dan membuatnya lupa diri, pikir Nessa. Dia harus sebisa mungkin menciptakan penawar untuk mengantisipasi sesuatu yang ditimbulkan oleh pesona pria di sampingnya itu.

"Aku tidak bisa terima kamu perlakukan aku seperti ini." Nessa kembali berkata, dengan dagunya terangkat sementara pandangannya lurus ke depan. Terlalu pengecut untuk kembali menatap Bagas.

"Ini negara hukum, Bagas. Dan sebagai bagian dari aparat negara, seharusnya kamu tahu kalau apa yang kamu lakukan saat ini, sudah merampas hak asasi dan pastinya itu adalah salah satu pelanggaran hukum." kata Nessa masih dengan pandangan lurus ke depan.

Tetap hening tak ada jawaban.

"Bagas!!!" teriak Nessa. "Kamu tidak tuli bukan?"

Akhirnya Nessa mengalah dengan kembali menghadap Bagas. Pandangan mereka pun kembali bertemu. Dan Nessa harus menelan liur kala tatapan mengancam Bagas ia rasakan.

"Diamlah, setidaknya setelah kita sampai!" jawab Bagas.

"Aku tidak akan pernah sampai kemanapun bersamamu. Turunkan saja aku, sekarang juga."

Pandangan Bagas kembali pada jalanan, kembali mengabaikan Nessa. Bahkan ia terlihat bersiul-siul seperti sedang bergembira.

"Bag... Uhhh.." keluh Nessa, kesal karena merasa terabaikan. Akhirnya dia pun menyerah, tidak berbicara lagi, membuat Bagas tersenyum puas dan kembali konsentrasi pada jalanan yang hendak ia lalui, walau sesekali menoleh ke arah Nessa yang tangan dan matanya tidak bisa diam seperti mencari cara untuk melepaskan diri, walau ia tahu pasti, kalau itu adalah cara yang konyol.

Bagas mengemudi dengan semangat, hatinya gembira seperti mendapat undian dengan hadiah istimewa. Dia membawa Nessa ke istananya. Sebuah rumah dengan pagar tembok cukup tinggi hingga Nessa harus putus asa saat melihatnya. Halamannya pun luas, ditumbuhi rerumputan hijau dan pepohonan yang terawat.

Setelah menghentikan mobilnya, Bagas mengambil sebuah remote kontrol dari laci dasbor dan menekannya, seketika pagar rumahnya terbuka sendiri, dan setelah mobil masuk pagar pun tertutup dan terkunci secara otomatis, tentu hal itu membuat Nessa semakin pasrah.

Tanpa terburu-buru, Bagas turun dari kemudi, sangat tenang membuka pintu penumpang supaya Nessa bisa turun. Tapi Nessa tetap diam dengan pandangan lurus ke depan tak ingin melihat Bagas yang berdiri di sampingnya.

"Ayolah!" kata Bagas.

"Ayo apa?" balas Nessa ketus, dengan tidak menoleh sedikitpun pada Bagas.

"Turun!"

"Kamu pikir aku budakmu yang bisa seenaknya kamu atur-atur?" geram Nessa.

Bagas membungkukkan badan, menyetarakan wajahnya dengan wajah Nessa yang masih menatap ke arah depan.

"Aku yakin, kalau kamu pasti cukup tahu, kalau aku bisa saja memperkosamu di sini, sekarang juga." Suara Bagas lirih, tapi penuh ancaman membuat Nessa menoleh dengan rasa marah yang menyertai rasa mulas di bawah perutnya.

Mantan TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang