Sepuluh

10.7K 1.4K 77
                                    

Bunyi tembakan yang bersusulan sudah membangunkan Ana dan para tetangganya. Bahkan beberapa warga tampak bermunculan mendatangi rumah Nessa kala itu.

Ana langsung menghubungi pihak berwajib saat memastikan adanya bahaya. Dia bertemu dengan Nessa saat anaknya itu hendak mengambil kunci mobilnya.

"Apa yang terjadi?" tanya Ana dengan tubuh bergetar dan wajah pucat karena panik dan takut.

"Tidak apa-apa, Bu. Ibu tenang ya... Mereka itu penjahat yang ingin menculik dan melukai keluarga kita. Tapi ibu tidak usah panik, mereka semua sudah dilumpuhkan Bagas, walau dia harus terluka. Sekarang Nessa harus cepat-cepat bawa dia ke rumah sakit. Ibu di sini saja jaga Rio, ya."

Ingin sekali Ana bertanya pada anaknya tentang apa alasan para penjahat itu ingin menculik dan mencelakai keluarganya. Namun, mendengar Bagas yang terluka dan harus segera dibawa ke rumah sakit membuat pertanyaannya sampai di pikirannya saja.

Bagas masih berdiri di tempat semula saat Nessa menghentikan mobilnya tak jauh dari tempat Bagas berdiri. Pria itu seperti tak terganggu oleh lukanya. Bahkan, dia terlihat berbicara pada salah satu warga yang menanyakan kejadian malam itu, dan sepertinya Bagas sedang menjelaskan semua kejadian malam itu.

Melihat keadaan itu, Nessa langsung turun dari mobilnya dan menyela pembicaraan Bagas dengan warga itu. Dia juga mengatakan pada warga itu kalau saat ini orang yang sedang di mintai keterangan sedang dalam keadaan terluka parah dan harus segera dilarikan ke rumah sakit. Setelah warga itu mengerti, Nessa langsung membawa Bagas menuju rumah sakit.

Selang beberapa menit, polisi tiba dan langsung mengamankan para penjahat itu, setelah mendapat keterangan dari Ana dan warga yang berada di sana saat itu.

***

Nessa mengemudi dengan cepat, walau Bagas memperingatkan dia untuk tenang dan santai. Tak lama setelah mobil Nessa berjalan, Bagas langsung menghubungi ayahnya, Wardono.

"Orang Bram benar-benar datang ke rumah Ibu mertua Bang Fajar. Sekarang mereka sudah lumpuh. Walau demikian aku takut masih ada yang lain berkeliaran, jadi segeralah kirim orang untuk perlindungan, karena aku harus ke rumah sakit sekarang, mereka ngasih aku dua cinderamata yang panas," kata Bagas diakhiri dengan kekehan lirih. Nessa menatap pria itu dengan keheranan. Di saat luka parah seperti itu dia masih sempat bercanda.

Di ujung telepon tentu saja Wardono tidak merasakan serunya humor yang dikatakan anaknya, dengan panik dia menayakan keadaan Bagas, tapi Bagas berhasil menenangkannya. Dua menit kemuadian Bagas sudah mengakhiri panggilannya dengan Wardono.

"Sial..." umpat Bagas saat memasukan kembali ponsel ke saku celananya dan tak sengaja melihat darah yang keluar dari perutnya tak kunjung reda.

Mereka baru setengah perjalan menuju rumah sakit saat itu, tapi darah Bagas sudah keluar cukup banyak terutama di bagian perut. Namun, seperti tak merasakan apa-apa Bagas segera membuka kaus yang ia gunakan menggulungnya menjadi bulatan padat dan menyumpalkannya pada perut yang terluka sebagai upaya mengurangi darah yang keluar dari sana.

"Darahku akan mengotori kursi mobilmu, apa itu tidak apa-apa?" tanya Bagas pada Nessa yang tengah mengemudi.

"Apakah aku harus mempermasalahkan hal sekecil itu setelah apa yang kamu lakukan untuk menyelamatkan nyawaku?" balas Nessa hanya menolehkan wajahnya sesaat, dan langsung mengembalikan pandangannya ke arah jalan raya seolah penampakan Bagas yang bertelanjang dada sudah menusuk penglihatannya.

Bagas tertawa pelan, mendengar perkataan Nessa serta reaksi gadis itu. Dan Nessa kembali merasa heran di saat seperti ini pria itu masih bisa tertawa bukannya mengaduh kesakitan.

Mantan TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang