Bagas memandang mobil yang di kendarai Senja, menjauh dan menghilang dari pandangannya.
Kata-kata Senja membuat ia semakin yakin, kalau dia dan Nessa tidak akan pernah bisa bersama. Perbedaan prinsip sukses menjadi jurang pemisah dan mengalahkan setiap keinginan yang dia dan Nessa miliki.
Melupakan Nessa saat ini, mungkin yang terbaik, pikir Bagas. Ia pun mulai melangkahkan kaki untuk kembali ke mobilnya. Namun, langkahnya terhenti dengan suara nyaring anak kecil di belakangnya.
"Gak masuk dulu, Om?"
Bagas pun membalikkan badan menghadap asal suara, dan tampaklah seorang anak laki-laki tengah berdiri di ambang pintu.
"Masuk dulu om," ulang Rio.
"Nggak, terimakasih. Om harus segera kembali."
"Sayang sekali, padahal aku lagi butuh teman sekarang," balas Rio, sambil berjalan menghampiri Bagas.
"Apa orang tuamu gak pernah kasih tau, kalau berbicara dengan orang asing sangatlah berbahaya? Terlebih mengajaknya bermain," balas Bagas.
"Mama bicara sama Om barusan, dan mama baik-baik saja." balas Rio dengan meniru gaya bahasa orang dewasa, dan hal itu membuat Bagas menyeringai.
"Jadi kamu yakin kalau Om ini orang baik," kata Bagas.
"Aku hanya akan merasa senang. kalau Om mau menemaniku bermain. Soalnya aku benar-benar sendirian sekarang. Nenek sedang sakit sementara Tante Nessa sedang puasa bicara. Bahkan dia gak jawab sapaanku tadi, dia langsung masuk kamar gitu aja."
Untuk sesaat, Bagas hanya menatap anak itu.
" Please..." bujuk Rio dengan menunjukan raut puppy eyes. Sulit rasanya menolak keinginan seorang anak kecil, Bagas selalu ingin membuat anak-anak di dekatnya tersenyum dan merasa senang, tak peduli ia tidak mengenal anak itu sekali pun. Bagas paling tidak bisa melihat seorang anak bersedih, dia selalu melihat penggambaran dirinya saat kecil dulu, jika melihat seorang anak kecewa atau bersedih.
Tidak ada salahnya menuruti keinginan anak itu barang sebentar saja, pikir Bagas. Dan dia akan membuat alasan untuk pulang setelah cukup membuat anak itu merasa senang.
"Ya sudah, kalau itu bisa buat kamu seneng." kata Bagas, Akhirnya. Rio pun terlihat senang, dengan cepat ia meraih tangan Bagas dan menariknya masuk rumah.
"Kita main lego." kata Rio riang sambil meletakan kotak kecil di atas karpet yang mana Bagas sudah duduk di sana sejak mereka sudah di dalam.
"Aku lihat Ate keluar dari mobil Om tadi, dan kayanya dia lagi kesal. Apa Om penyebabnya?" kata Rio dengan tangan mulai menempel butiran lego menjadi bentuk yang ia inginkan.
"Ya." jawab Bagas, dan mengernyit saat Rio tertawa mendengar jawabannya.
"Aku juga sering bikin Ate marah," kata Rio.
"Oya?"
"Ya, Ate suka marah kalau aku pinjam gadgetnya tanpa izin, atau kalau aku main gadgetnya terlalu lama. Ate bilang, ' Rio, main gadget terlalu lama gak baik untuk kesehatan mata. Kamu mau, matanya jadi empat kaya Ate?' gitu katanya." kata Rio, meniru gaya Nessa saat berbicara. Dan itu berhasil membuat Bagas tertawa. Untuk sesaat, ia membayangkan Nessa yang galak sedang memarahi Rio. Mata indahnya yang melotot, pipi mulusnya yang memerah menahan marah dan bibirnya mengerucut. Raut wajah dan sikap yang selalu Nessa tunjukan padanya.
Bagas menarik napas karena sikap Nessa yang seperti itu justru membuatnya merasa tertantang ingin melawan dan menangkapnya hingga ia menyerah.
"Tapi om tenang aja, Ate kalau marah gak bakalan lama kok." lanjut Rio.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantan Terindah
RomanceSebuah siksaan yang berat bagi Bagas untuk mengabaikan ketertarikan fisik terhadap mantannya, Nessa, yang saat ini berkali-kali lebih cantik dari Nessa yang dulu pernah ia kenal. Namun, prinsip mereka yang sejak dulu menjadi jurang pemisah diantara...