Dua Puluh Delapan

11K 1.6K 160
                                    

Satu minggu sudah Nessa terbaring koma, tapi belum ada tanda-tanda yang menunjukan kalau dia akan segera bangun dari tidurnya yang dalam itu.

Nessa mendapatkan perawatan terbaik, dan fasilitas ruangan terbaik di rumah sakit itu, atas permintaan Bagas dan Bagas juga yang menanggung semua biaya perawatannya.

Selama satu minggu itu, Bagas selalu ada di dekat Nessa, walau perawat selalu mengusirnya, karena pasien hanya boleh dijaga di ruang tunggu yang telah disediakan. Tapi sepertinya Bagas seorang penunggu pasien yang tidak taat peraturan, dia kerap duduk di samping Nessa walau bukan pada jam besuk.

Dia tidak bekerja satu minggu itu, dia juga jarang pulang, jarang mandi, dan juga jarang makan. Terkadang dia tertidur diruang tunggu pasien, makan pun kalau dia sudah benar-benar merasa lemas.

"Dia tetap tampak cantik walau sedang koma." Sebuah suara membuat Bagas mengalihkan pandangannya dari arah Nessa ke asal suara dan dia melihat Wardono di sana.

Saat itu waktunya jam besuk, Bagas duduk di kursi samping ranjang Nessa sambil menatap Nessa lekat, pikirannya dipenuhi tentang Nessa sampai tak menyadari kedatangan Wardono yang tiba-tiba saja sudah berdiri disampingnya.

"Pa," sapa Bagas.

"Wajahnya seperti orang sehat." lanjut Wardono, sambil menatap Nessa, dia mengabaikan sapaan Bagas.

"Dokter spesialis dalam yang menanganinya bilang, kalau organ pencernaannya berfungsi dengan baik, dan makanan yang dimasukan dari selang NGT yang dipasang melalui hidungnya bisa diterima dengan baik oleh lambungnya." jelas Bagas.

"Pantas, dia tampak cantik." balas Wardono deng mata tak putus menatap Nessa. "Tapi sebaliknya, lihat dirimu! Kamu tampak jelek saat ini dengan wajah kusut, kurang tidur, jarang makan, jarang olah raga dan sepertinya juga jarang mandi."

Kini Bagas hanya diam dan mencerna perkataan Papanya.

"Saat dia terbangun nanti dan melihat keadaanmu yang kurus dan jelek, apa kira-kira dia masih mau sama kamu?" lanjut Wardono.

Bagas menatap ke arah Wardono dengan menunjukan wajah tak mengerti, tapi sepatah kata pun tidak dia ucapkan.

Dan Wardono pun kembali berkata, "Nessa adalah tipe wanita yang tidak akan senang melihat orang yang dia cintai menyakiti diri sendiri,"

Keduanya beradu pandang. Namun, Bagas masih tak bersuara.

"Ikut Papa sebentar! Ada yang ingin papa sampaikan padamu. Terlebih Ibu Ana dan Senja ingin melihat Nessa. Dan tentu saja perawat tidak akan mengijinkan dia masuk kalau ada kita disini." kata Wardono dan dia pun melangkah lebih dulu meninggalkan Bagas yang bangkit berdiri dengan lunglai seperti kurang gizi.

Dia berpapasan dengan Ana dan Senja di pintu masuk. Senja pulang lima hari yang lalu bersama Fajar setelah mendapat kabar tentang Nessa yang kecelakaan.

Bagas hanya mengangguk sambil tersenyum pada seraut wajah tua dengan sisa tangis di matanya. Ana sudah tahu kalau kejadian yang menimpa anaknya semata karena adanya unsur kesengajaan dari Shally yang sakit hati pada Bagas dan Nessa.

Ana sempat menyalahkan Bagas dalam kecelakaan itu, tapi setelah melihat penderitaan Bagas selama dia menemani Nessa di rumah sakit, Ana pun tidak terus-menerus menghakiminya. Melihat keadaan dan apa yang diperbuat Bagas sudah cukup bagi Ana untuk Bagas mendapatkan pelajaran.

Bagas yang mengekor di belakang Wardono pun akhirnya mengikuti papanya itu ke arah sofa yang mana Fajar sudah duduk di sana.

Keduanya pun duduk tak jauh dari Fajar. Untuk sesaat, tiga pria bertubuh bongsor itu, hanya saling diam hingga akhirnya Wardono mulai membuka suara.

Mantan TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang