Dua Belas.

9.5K 1.4K 89
                                    

Bagas terlihat resah dan gelisah setelah ia memutus sambungan teleponnya dengan Nessa. Dia duduk di atas ranjang dengan tak nyaman. Kepalanya menoleh ke arah jam dinding setiap satu menit sekali.

Sepertinya sikap penyabar tak akan pernah ada walau setitik saja di dalam kepribadiannya, sekali pun dia ditawari dunia ini untuk ia miliki.

Terbukti, setelah sepuluh menit berlalu sejak ia berbicara dengan Nessa di sambungan telepon, dia berhasil membuat Mei Ling terpekik tak setuju dan Wardono menggeleng-gelengkan kepala tak habis pikir saat melihat anaknya itu mencopot sendiri setiap selang yang terhubung di tubuhnya.

Dalam keadaan panik Mei Ling langsung memencet bel untuk memanggil perawat setelah melihat kelakuan anak tirinya itu.

"Itu bukan tindakan baik untuk pasien yang ingin cepat pulang, Nak. Dan bukankah sedari tadi kamu merengek minta pulang?" kata Wardono, dia tidak bisa berbuat apa-apa melihat anaknya membebaskan diri dari selang yang terpasang di tubuhnya.

"Timah panas itu sudah keluar dari tubuhku, Pap. Aku sudah sembuh dan sebentar lagi kita akan pulang. Jadi kenapa aku masih harus dipasangi selang sialan ini," jawab Bagas, lalu turun dari ranjang pasiennya.

"Keadaanmu belum pulih, anakku. Kamu masih harus mendapatkan perawatan medis. Untuk itu jangan dulu turun dari ranjangmu, apalagi melepas semua peralatan medis sendiri." timbrung Mei Ling.

"Aku harus menjemput Nessa sekarang juga, Mam." balas Bagas berjalan perlahan menjauh dari ranjangnya.

"Sabar! Paling lima menit lagi juga dia datang," balas Mei Ling sambil memegangi lengan Bagas mencegahnya untuk bergerak.

"Dia dalam bahaya sekarang." kata Bagas, terpaksa dia menghentikan langkahnya karena cengkeraman tangan Mei Ling di lengannya.

"Bukannya dia bersama Aldo katamu tadi?" timpal Wardono.

"Maka dari itu, saat ini dia sedang dalam bahaya," jawab Bagas menatap wajah Wardono dengan pandangan kesal.

Wardono terkekeh mendengar perkataan anaknya, lalu ia kembali berkata,"ada yang sedang takut tersaingi, rupanya." katanya lalu kembali tertawa.

"Tunggu di sini kalau begitu, biar Papa yang jemput dia." tegas Wardono setelah tawanya reda. Lalu beranjak untuk menjemput Nessa.

Dengan terpaksa Bagas menuruti, tapi tetap dalam keresahannya. Tak lama perawat datang, mereka meminta Bagas kembali memasang infusnya. Namun tentu saja, suasana hati Bagas tidak memungkinkan untuk mau menerima permintaan para perawat itu.

Seolah tak mendengar dan tak peduli pada para perawat itu, dia mengabaikan mereka sambil berjalan mondar-mandir di tengah ruangan. Sesekali pandangannya menoleh ke arah pintu penghubung antara ruang rawat dan ruang pengunjung pasien yang dibiarkan terbuka.

Jadi, ruang inap vip itu memiliki dua ruangan, satu untuk ruang rawat pasien, dan satu lagi untuk pengunjung atau penunggu yang apabila pasien sedang dalam tindakan medis maka ruang rawat pasien harus steril dari siapapun, tak terkecuali keluarga, penunggu, atau pengunjung, hanya dokter dan perawat saja yang boleh di sana. Mereka semua harus menunggu di ruang pengunjung tersebut. Terlebih, tamu atau penunggu pasien tidak boleh lebih dari dua orang berada di ruang rawat. Jika ada pengunjung dalam jumlah banyak maka yang boleh masuk ruang rawat untuk menjenguk pasien hanya boleh dua orang saja dan sisanya harus menunggu giliran di ruang tersebut.

"Sebaiknya turuti saja apa kata perawat, Bagas. " pinta Mei Ling, setelah cukup lama melihat Bagas hanya mondar-mandir dan tak ada tanda-tanda mau menerima kembali perawatan medis.

"Selang-selang itu sangat membatasi kebebasanku, mam. Dan aku tidak suka. Untuk itu, jangan lagi menyuruhku untuk menuruti kemauan mereka," jawab Bagas.

Mantan TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang