Sebagai anak perantauan yang jauh dari kampung halaman, tempat kost-kostan memanglah menjadi favorit untuk tinggal di Jakarta, selain tidur pake koran di emperan toko. Hal serupa juga gue lakukan saat gue mulai kuliah, yakni mencari tempat kost-kostan. Kenapa gue milih untuk ngekost? Karena pertama, gue gak bisa mengendarai kendaraan bermotor, apapun itu, baik itu sepeda motor, mobil, maupun truk sampah. Kedua, karena rumah saudara gue di Karawaci (Tangerang) dan kampus gue di Petukangan Utara (Jakarta Selatan), itu sangat jauh sekali, apalagi kalau diukur pake penggaris Butterfly.
Gue udah sempat mencoba beberapa hari berangkat pulang-pergi dari rumah ke kampus naik angkot. Setiap hari gue harus menyambung angkot sebanyak 3 kali, dan apa hasilnya? Zonk. Kenapa? Ya, karena semua angkot di Tangerang-Jakarta dan sekitarnya itu kalau nge-tem parah banget. Nge-tem sendiri adalah istilah di mana angkot berhenti beberapa saat untuk menunggu penumpang penuh. Saat nge-tem, biasanya dimaanfaatkan oleh sopir angkot untuk ngerokok, lalu makan gorengan, terus garuk-garuk pantat, atau bahkan ngerokok sambil garuk-garuk pantat pake gorengan.
Sebagai pengguna angkot gue merasa kecewa, dengan angkot yang suka nge-tem terlalu lama. Sekalinya nge-tem, angkot di Tangerang-Jakarta itu bisa diam di tempat sampe 30 menit lebih. Bahkan, itu lamanya hampir sama kayak cewek yang lagi memilih dua baju saat mau keluar, sambil bilang, "Aku pake yang ini atau ini, ya? Kalo pake yang ini nanti pasti aku cantik banget, tapi kalo yang satunya aku juga suka banget. Ah, aku bingung." Dan akhirnya, dia pun memilih satu baju yang ada di dalam lemari, bukan dua baju yang sudah dipegang selama berjam-jam sebelumnya. Dasar cewek, tukang Pemberi Harapan Palsu (PHP), kalian gak tau, bagaimana sedihnya dua baju yang sudah kalian pegang tadi, kan? Awalnya kalian memuji-muji dia dengan sangat bangga, tapi dengan gampangnya, kalian justru memilih yang lain. Dasar, kamu jahat. *sambil meluk dua baju yang lagi bersedih sambil puk-puk mereka.*
Ada teman bilang ke gue, kenapa gak bilang ke sopirnya kayak gini, "Bang, buruan dong, saya sudah telat nih!" Sudah, gue sudah pernah coba bilang kayak gitu. Tapi, sopirnya dengan santai cuma bilang, "Mau murah, tapi cepat, Mas? Noh, mati aja dulu, terus naik mobil Ambulance!" Karena alasan gak ingin sampai kampus dengan badan bau formalin, gue pun memilih untuk pasrah tetap naik angkot saja.
Meskipun, gue masih menggunakan jasa angkot untuk pergi kemana-mana, tapi gue masih gak setuju dengan prinsip, bahwa penumpang itu harus selalu ditunggu. Bagi gue, penumpang itu gak bisa hanya ditunggu, tapi juga harus dicari. Istilahnya sih, jemput bola duluan, gitu. Ya, kurang lebih sama kayak jodoh, kalau cuma ditunggu tapi gak ada usaha buat dicari, sampai kecoa terbang di dunia punah juga, lo bakalan tetap akan jadi jomblo. Ya, ya, ya, gue lupa, gak seharusnya gue teriak jomblo, karena gue juga jomblo. Sedih. *sambil masukin kepala ke dalam closet, pake kepala orang lain.*
Kehidupan sebagai anak kost gue bermula dari sebuah keisengan sepulang dari kuliah. Di mana siang itu, gue berjalan-jalan di suatu perkampungan dekat kampus. Untuk sekedar informasi, di sebelah persis kampus gue ada sebuah kali yang cukup besar dan katanya itu merupakan lokasi langganan banjir. Sebagai anak rantau, gue ingin sekali merasakan banjir di Jakarta, supaya bisa dapet pakaian, alat tulis, dan Indomie sekardus, serta bisa masuk TV gratis.
Sambil berjalan dan melihat-lihat ke arah kali, tiba-tiba saja, gue menemukan tulisan di tiang listrik, "Cari Kost-kostan murah meriah? Belok kiri aja!" Seolah-olah, tiang listrik itu bisa membaca pikiran gue yang sedang butuh kost-kostan. Selain itu, gue juga menemukan contact person di bawahnya, gue pun langsung mencatat nomer tersebut. Bukan, itu bukan nomer pemilik kost-kostan, melainkan nomer badut ulang tahun. Ya, gue berecana mengundang badut saat ulang tahun, biar ada yang bantuin cuci piring habis pesta di rumah.
Setelah berhenti sejenak, tanpa berpikir panjang, gue pun langsung melangkah dengan yakin ke sebuah gang kecil. Di sana gue menemukan sebuah rumah bertingkat yang sangat gelap, mirip kayak pintu masuk rumah hantu di pasar malem.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahasiswa 1/2 Abadi (KOMEDI - PELIT)
Документальная прозаSetiap kampus punya cerita dan cinta? Ya, ini adalah kisah gue, Dono Salim, biasa dipanggil Dono. Kisah mahasiswa kekininan yang gampang galau dan memiliki perasaan sensitif apabila melihat hujan. Bukan hanya itu saja, sebagai Mahasiswa gue juga a...