Jesen dan Suling Sakti (part 1)

173 10 0
                                    


Ini adalah kisah perkenalan gue dengan seorang penghuni kost baru.

Waktu gue masuk semester 5, akhirnya gue punya tetangga baru. Setelah beberapa bulan, kamar sebelah yang kosong dan jadi sarang mesum kecoa, kini akhirnya punya penghuni baru. Jesen namanya. Mahasiswa baru angkatan 2016, alias beda 2 tahun dari gue. Jurusan kita berbeda, kalau gue FIkom, dia jurusan TI, alias Teknik Informasi.

Jesen itu orangnya agak pendek, ya tapi gak sependek Minions atau Plankton, sih. Pokoknya, dia kalau berdiri samping gue, dia setara sama bahu gue, gitu. Tapi birapun dia pendek, dia punya suara yang tinggi banget. Kenapa gue tahu suaranya tinggi banget? Karena gendang telinga gue hampir mau copot, waktu pertama kali ngobrol sama dia.

"Hallo kenalin, Dono," ucap gue memperkenalkan diri terlebih dulu.

"NAMA AKU JESEN, BANG! SALAM KENAL, BANG!" ujarnya dengan nada tinggi.

"Err~ Iya kedengaran kok, gak usah teriak. Jackson, kan?" ucap gue coba memastikan.

"JESEN BANG. BUKAN JACKSON." Jawabnya lagi dengan nada yang semakin tinggi.

"Iya, iya, Jesen. Udah dengar kok!" kata gue lagi, sambil sedikit menjauhkan diri beberapa meter dari Jesen. "Emang harus teriak gitu ngomongnya, ya?" lanjut gue bertanya.

"INI BUKAN TERIAK BANG, TAPI INI LOGAT KHAS BATAK." Jawab Jesen masih dengan nada yang sama.

"Biar apa kayak gitu nadanya emang?" tanya gue penasaran.

"INI TANDANYA, KITA ORANG BATAK ITU PEMBERANI DAN GAK TAKUT APAPUN, BANG."

Dan gue hanya mengiyakan dengan mengaggukan kepala, sambil menutup kedua kuping gue dengan barbell isi semen punya Mas Hendrik.

Gue sebelumnya memang punya beberapa teman orang Batak, tapi Jesen berbeda. Teman Batak gue lainnya, mereka tidak terlalu "nge-gas" kayak Jesen pas lagi ngomong. Tapi biarpun, dia suka ngomong dengan nada tinggi, Jesen anaknya baik banget dan sopan. Setiap kali ketemu gue dia selalu nyapa dan senyum 5 jari.

Selayaknya anak rantau yang baru tiba di Jakarta, banyak hal baru yang belum Jesen tahu. Dan gue sebagai anak rantau senior, sudah kewajiban gue untuk membimbing dia.

Bisa dibilang sih, Jesen ini anaknya kampungan, karena banyak hal yang dia gak tahu soal kehidupan di Jakarta. Tapi, no problem. Dulu gue juga kampungan kok waktu pertama datang ke Jakarta. Pertama kali diajak makan Spagethi di Jakarta, gue minta nasi ke pelayannya dan ia cuma senyum-senyum, lalu bilang, "Maaf Mas, ini restoran Italia, kalau mau nasi silahkan beli di seberang aja." Ucapnya sambil menunjuk ke arah Warteg. Ya, gue sekampungan itu.

Kembali lagi membahas soal Jesen.

.

.

Next --->>

Mahasiswa 1/2 Abadi (KOMEDI - PELIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang