"Mas Anto lagi apa?" tanya gue, menghampiri Mas Anto yang sedang asyik sendiri, melihat kerumunan anak kecil dari atas balkon kostan.
"Aku lagi ngeliatin si Fitri itu lucu banget," ujar Mas Anto, sambil menunjuk anak perempuan bertubuh tambun dan berambut ikal lebat dari kejauhan.
"Oh, Mas Anto juga suka anak kecil, yak? Sama aku juga suka loh, Mas, hehe," ujar gue menjelaskan.
"Kamu suka sama anak di bawah umur, Don?" tanya Mas Anto, sambil menoleh ke arah gue dengan pandangan penuh curiga.
"Gak Mas, bukan gitu maksudnya. Tapi, aku suka aja ngeliat anak kecil gitu, jadi ngebayangin kalo punya anak nanti, hehe," jawab gue coba menjelaskan.
"Halah, kamu loh kalo punya anak, pasti anaknya juga sipit juga kayak kamu," ujar Mas Anto meledek.
"Belum tentu, Mas. Kalo misalkan istriku matanya lebarnya sampai 1 meter, gimana? Pasti anak aku gak bakalan sipit lah, Mas, hehee,"
"Hmm... Kamu itu kalo ngayal mbok yo jangan lebay, gitu,"
"Namanya juga usaha, Mas, hehe."
Pembicaraan kami sempat berhenti beberapa saat. Melihat Mas Anto yang tengah asyik memainkan Hapenya, gue pun memutuskan untuk diam sejenak, daripada gue harus ngomong, tapi dikacangin. Setelah menunggu beberapa saat dan Mas Anto memasukan Hapenya ke saku celana, gue pun kembali melanjutkan obrolan kami.
"Oiya, Mas Anto kalo kerja berangkatnya kok pagi banget? Tapi, kalo pulangnya malem banget, sih?" tanya gue penasaran.
"Aku tuh orangnya biasa disiplin dari kecil, kalo orang ngasih amanat 100% ke aku, ya kalo bisa aku harus kasih 100% juga, gitu," jawab Mas Anto dengan sangat bijak.
"Maksudnya gimana, Mas?" tanya gue bingung.
"Jadi, semua yang aku kerjain itu harus selalu totalitas dan ikhlas, gak boleh setengah-setengah. Soalnya, aku gak mau menyiakan-nyiakan kepercayaan orang,"
"Tapi kan, kalo kayak gitu, bukannya malah bikin capek diri sendiri ya, Mas?"
"Ya, aku sih percaya sama teori tabur tuai, Don. Kalo sekarang aku ngasih lebih ke orang, pasti suatu saat kita juga akan dapat hasil yang lebih berlimpah lagi."
Mendengar kalimat terakhir dari Mas Anto, gue hanya bisa diam sambil merenung sejenak. Kenapa bisa ada orang sebaik dia, ya? Padahal, kalau gue jadi dia, belum tentu gue bisa melakukan itu semua. Jangankan untuk totalitas, bangun dari jam 5 pagi dan pulang jam 9 malam setiap hari, terkadang gue masuk jam 8 pagi aja masih suka telat dan malas untuk berangkat ke kampus. Apalagi, kalau pas telat dapet dosen yang killer banget. Gue pernah sekali, cuma telat 5 menit telas saat kelas pelajaran Bahasa Inggris, tapi gue malah disuruh pulang dan gak boleh masuk kelas seumur hidup. Ternyata, gue salah masuk kelas, gue malah masuk ke kelas tari Balet.
***
Entah kenapa, malam ini gue merasa malas banget untuk makan nasi. Sepertinya, gue lagi terkena gejala diabetes, gara-gara terlalu sering ngeliat senyum anaknya Bu Darti. Kebetulan banget, saat lagi malas makan nasi kayak gini, Fajar ngajakin gue buat makan Ketorprak di dekat kostan. Tanpa pikir panjang, gue pun langsung menerima ajakannya tersebut.
Kami pun langsung berangkat ke tukang Ketoprak, yang menurut gue dan Fajar, itu paling enak se-Jakarta Selatan. Kebetulan, lokasinya gak terlalu jauh dengan kost-kostan kami.
"Bang, ketoprak makan di sini 2 piring, yak," ujar Fajar sembari mendekat ke arah Mas-mas penjual Ketoprak.
"Oke, siap Mas." Jawab tukang ketoprak sigap, dengan mengacungkan jempolnya ke arah Fajar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahasiswa 1/2 Abadi (KOMEDI - PELIT)
Non-FictionSetiap kampus punya cerita dan cinta? Ya, ini adalah kisah gue, Dono Salim, biasa dipanggil Dono. Kisah mahasiswa kekininan yang gampang galau dan memiliki perasaan sensitif apabila melihat hujan. Bukan hanya itu saja, sebagai Mahasiswa gue juga a...