Pulang
Jagad merasa dirinya begitu pengecut. Pada kenyataannya, dia memang seorang pengecut. Pengecut yang sebenar-benarnya pengecut.
Seminggu yang lalu dia terbangun dengan Lilan yang berada dalam pelukannya. Tubuh mereka berdua telanjang tanpa sehelai benangpun yang menutupi kecuali selembar selimut tipis yang mereka bagi bersama. Aroma sex masih menguar di dalam kamar dan sang pengusaha muda ingat tahu betul apa yang telah ia lakukan dengan calon adik iparnya itu pada malam sebelumnya.
Ketika akalnya tak lagi diliputi oleh nafsu, akhirnya Jagad dapat berpikir dengan baik. Tentang Clara, tunangannya. Tentang Daniell Group yang diimpikannya. Tentang nama baiknya. Tentang masa depannya. Tentang ketakutannya menjadi seorang gay.
Jagad bukan seorang homophobia, tetapi kini memikirkan dirinya menjadi salah satu orang dengan orientasi seksual menyimpang tersebut membuat Jagad bergidik sendiri.
Di saat yang bersamaan, Jagad juga sadar bahwa dia benar-benar menikmati seks bersama Lilan. Bagaimana lelaki itu mendesah pasrah di bawah tubuhnya mampu menaikkan birahinya ke titik yang tertinggi. Bagaimana tubuh Lilan menegang saat mendekati orgasme. Bagaimana cairan seks Lilan yang menyembur dan membasahi perut dan dada mereka berdua. Bagaimana lubang milik Lilan berkedut dan menjepit kejantanannya dengan rapat. Jagad ingat betul semuanya. Dan kenyataan seberapa banyak Jagad menikmati semua yang Lilan berikan padanya membuat Jagad ketakutan.
Jagad takut jika ia menginginkan sesuatu yang lebih. Karena ia tahu betul berapa harga yang harus ia bayar jika ia menginginkan Lilan. Dan jujur saja, Jagad masih belum rela untuk melepaskan semuanya hanya untuk bersama Lilan.
Jagad adalah seorang pengecut. Benar. Karena itu saat matanya mulai terbangun dan menyadari keberadaannya di tempat tidur yang sama dengan Lilan, pengusaha muda itu dengan kalang kabut mengumpulkan pakaiannya dan pergi meninggalkan apartemen tanpa menoleh lagi ke belakang. Jagad saat itu benar-benar dilanda kepanikan.
“Arrgh!!!” Dikuasai rasa frustrasi, Jagad memukulkan raketnya kuat-kuat sehingga bola yang terpantul pada raketnya itu segera berpantul kembali ke arah berlawanan dengan kecepatan tinggi. Nyaris mengenai wajah Andre yang ada yang menjadi lawan mainnya pada pagi itu, jika saja sepupunya itu tidak dengan sigap segera menghindar.
Andre lantas mendelik kesal pada Jagad, “Katakan saja kau iri pada wajahku yang tampan. Jangan bermain licik dengan memukul bolanya ke arahku.”
Ini memang kegiatan yang biasa Jagad dan Andre lakukan setiap pagi di akhir minggu. Jika tidak bermain golf, mereka akan pergi bermain tenis.
Jagad tak memperdulikan cemoohan Andre. Tanpa berkata apa-apa dia berjalan ke pinggir lapangan dan mendudukkan dirinya di sebuah bangku panjang.
“Minum dulu,” Clara menyerahkan sebotol air minum pada lelaki itu yang kemudian ia ambil tanpa menoleh pada tunangannya itu. Jagad meneguk air itu hingga nyaris separoh.
Seakan tak peduli dengan sikap dingin Jagad, Clara mendekat. Dengan sebuah senyuman lebar di wajahnya, ia menyeka keringat dengan sebuah handuk kecil. Kontras dengan suasana hati Jagad yang sedang kelabu, gadis itu tampak riang. Pasalnya ini adalah satu dari sekian kesempatan langka Jagad mau mengajaknya pergi bersama. Setiap kali, tunangannya itu selalu beralasan sedang sibuk rapat, bertemu klien atau semacamnya. Tapi kemarin, saat ia mendesak Jagad lagi untuk mengajaknya pergi berkencan, sang pengusaha justru memintanya menemaninya bermain tenis.
Secara teknik, ini memang bukan kencan yang diinginkan oleh Clara. Mereka hanya bermain tenis di lapangan sewaan dan Andre juga ikut bersama mereka. Tetapi setidaknya Clara pikir ini adalah sebuah langkah awal untuk kedekatan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE WEDDING AFFAIRS [PO ke-2 22 Mei - 12 Juni]
RomanceJagad Winanta, pebisnis muda sukses yang tidak peduli pada apapun selain pada bisnis dan uang. Itulah alasan mengapa ia menyetujui pertunangannya dengan Clara Viona Daniell. Prospek keuntungan dari bisnis kerja sama dengan keluarga Daniell adalah se...