Chat Box
Jagad mengajak Lilan ke sebuah restoran steak, berharap calon adik iparnya itu menyukai steak.Dia punya beberapa pilihan tempat makan sebenarnya, tetapi kebanyakan restoran favoritnya adalah restoran-restoran yang menyajikan makanan khas Indonesia. Beberapa restoran lain tempat ia biasa menjamu rekanan bisnis juga terlalu mewah dan privat, mungkin akan membuat Lilan tak nyaman. Sisanya tempat terlalu jauh dan tadi Jagad sempat mengatakan kalau Jagad akan mengajak Lilan ke restoran yang cukup dekat dari galeri.
Selain itu, mengingat Lilan yang tinggal di luar negeri selama beberapa tahun terakhir membuat Jagad memutuskan untuk main aman. Mungkin makanan-makanan khas Indonesia tak lagi cocok dengan lidah Lilan yang telah biasa santapan asing. Steak sudah dirasa Jagad sebagai tempat paling tepat.
“Gimana tempatnya menurutmu?” Jagad bertanya tanpa bisa ditahan. Dia sebenarnya risih pada dirinya sendiri yang ternyata begitu peduli tentang impresi Lilan terhadap pilihannya. Seingatnya, sebelumnya dia tak pernah peduli apa teman-teman laki-lakinya suka tempat makan yang ia pilih atau tidak. Bila mereka banyak berkomentar, biasanya dengan santai Jagad meminta mereka untuk tidak banyak protes. Tapi dengan Lilan semua terasa begitu lain.
Lilan melihat ke sekeliling, memperhatikan restoran semi terbuka tersebut. Jagad menuntunnya ke salah satu meja. Saat ia sudah mendudukkan diri, ia mengendikkan bahunya, “Lumayan kelihatan nyaman,” Lilan berkomentar. “Tapi aku nggak gitu suka steak.”
Jagad seketika mencelos. “Oh ya?” Dia menatap lelaki di depannya was-was, “Kalau begitu mau ganti tempat? Mumpung kita masih belum pesan,”
Lilan menoleh kaget pada Jagad, “Nggaklah, ngapain? Aku nggak suka steak bukan berarti gak bisa makan,”
Jagad menurut. Sampai saat pelayan datang untuk mencatat pesanan mereka, Jagad sebenarnya masih merasa tak nyaman.
“Clara yang suka steak, kapan-kapan kamu ajak ke sini aja,” Lilan berujar. “Walaupun abis makan steak besoknya dia kelimpungan sendiri nyari timbangan dan ngukur lingkar pinggangnya. Mungkin dia kira abis makan steak, beratnya bisa langsung nambah beberapa kilo. Perempuan itu suka bikin repot diri mereka sendiri,”
Jagad tersenyum. Bukan karena Lilan berbicara tentang Clara, tetapi karena Lilan mulai sedikit terbuka padanya. Dia mulai terlihat santai dan kalinat yang diucapkannya tak lagi pendek dan sepatah dua kata.
“Perempuan itu suka bikin repot diri mereka sendiri, aku setuju,” Jagad menimpali. Pengusaha muda itu bergeser sedikit, menyamankan duduknya dan menumpukan sikunya ke meja. Beberapa saat duduk bersama Lilan setidaknya tubuhnya tidak lagi menunjukkan reaksi yang aneh-aneh terhadap keberadaan Lilan, walaupun beberapa kali matanya masih sesekali terhenti di bibir kecil dan merah milik lelaki di hadapannya itu.
“Kalau kalian sudah menikah nanti, siap-siap aja direpotkan tiap hari sama Clara,” Lilan mengejek.
Lilan sepertinya senang menggiring percakapan mereka kembali pada Clara, tapi Jagad sama sekali tak merasa tertarik. Meski ada bagian dalam.dirinya yang sedang mencoba mengingatkan bahwa Clara adalah tunangannya dan dia seharusnya lebih peduli, tapi nyatanya Jagad lebih tertarik pada calon adik iparnya, “Kamu nggak gitu suka steak, I see… Jadi apa yang kamu suka?”
“Nomor 1, masakan mamaku.” Lilan berhenti sejenak. Pelayan yang tadi mencatat pesanan mereka sudah datang kembali. Jagad memesan seporsi tenderloin sementara Lilan sendiri memilih sirloin dengan siraman kuah asam manis. Semua pesanan mereka termasuk minuman telah terhidang rapi di atas meja.
“Lalu nomor 2?” Jika yang paling disukai Lilan adalah masakan mamanya, sudah pasti Jagad tak bisa memenuhi. Clarisa pasti hanya memasak di rumahnya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE WEDDING AFFAIRS [PO ke-2 22 Mei - 12 Juni]
Roman d'amourJagad Winanta, pebisnis muda sukses yang tidak peduli pada apapun selain pada bisnis dan uang. Itulah alasan mengapa ia menyetujui pertunangannya dengan Clara Viona Daniell. Prospek keuntungan dari bisnis kerja sama dengan keluarga Daniell adalah se...