Bagian IX

11K 1K 116
                                    

Tambak Udang Windu

Sesampainya Lilan di Surabaya, ia segera mencari sebuah hotel untuk menginap dan juga membeli beberapa potong pakaian untuk ia kenakan selama berada di sana. Pemuda itu berencana untuk tinggal selama beberapa hari di kota itu. Dia tak mungkin terburu-buru kembali ke Manhattan jika ternyata Jagad masih ada di sana dan menunggunya. Lebih aman jika dia menunggu sementara waktu terlebih dahulu. Toh, tidak mungkin Jagad berlama-lama meninggalkan pekerjaannya.

Selama di Surabaya dia berencana  memanfaatkan waktunya untuk melancong, sekalian untuk liburan. Dia bisa berkunjung ke tempat-tempat yang menarik di Jawa Timur. Lilan dengar, di Jawa Timur terdapat daerah-daerah yang merupakan sentra penghasil udang. Tentu akan menarik bila Lilan bisa melihat dari dekat bagaimana orang-orang memproduksi udang dalam skala besar.

Ketimbang tinggal dan berdiam diri di hotel, tentu lebih menarik bila Lilan bisa home stay di rumah penduduk pedesaan. Orang-orang di desa mestinya belum terkontaminasi dengan pola pikiran-pikiran licik orang-orang di perkotaan.

Maka keesokan harinya, Lilan segera check out dari hotel dan bertolak menuju Banyuwangi. Menempuh perjalanan selama beberapa jam dari Surabaya, ia akhirnya sampai di daerah pesisir pantai yang merupakan kawasan desa Wongsorejo. Sejauh dia memandang, terbentang berhektar-hektar petakan tambak udang.

Lilan sengaja meminta tolong salah seorang penduduk desa untuk menemaninya berkeliling sekaligus menjadi pemandu. Kalau perlu, nanti dia akan sekalian minta dicarikan home stay sederhana sebagai tempat tinggal. Seorang petani tambak udang yang bernama Pak Joko segera bersedia untuk menemani Lilan. Lelaki separuh baya itu begitu ramah dan menjelaskan bahwa ini bukan kali pertama ia menemani pengunjung dari luar kota untuk berkeliling. Rupanya, daerah itu memang secara sengaja telah sekaligus dijadikan sebagai daerah ekowisata.

“Beberapa tahun yang lalu, tambak-tambak udang ini pernah hampir mati suri, Mas Lilan,” Pak Joko menjelaskan seraya mereka berjalan menyusuri pematang-pematang kecil pemisah antara tambak satu dengan yang lainnya, “Daerah yang dulu pada era 1980an dikenal sebagai penghasil udang windu terbesar mulai berhenti berproduksi. Pasalnya saat itu sempat ada penyakit yang menyerang udang-udang windu di sini. Panen kami terus menerus gagal. Udang windu memang lebih rentan terhadap penyakit jika dibandingkan jenis udang-udang lain. Kami sempat mencoba untuk mengganti varietas udangnya menjadi udang vannamei yang lebih resisten terhadap penyakit. Tapi justru kendalanya ada di pemasaran. Kehabisan modal dan kehabisan akal, akhirnya terpaksa banyak dari kami yang memutar stir karena terdesak tuntutan ekonomi. Sebagian tambak udang dialih fungsikan menjadi lahan penghasil garam, sebagian lagi digunakan untuk tambak ikan bandeng yang biaya produksinya lebih murah dan sebagian lagi malah dibiarkan terbengkali begitu saja. Sampai akhirnya Mas Abi datang ke sini… Eh, hati-hati, Mas Lilan. Lihat baik-baik sebelum berpijak, karena daerah ini daerah yang terkena pasang surut, tanahnya jadi lebih lembek,”

Lilan tersenyum penuh terima kasih pada Pak Joko. Dia nyaris terperosok ke dalam tambak jika saja bapak itu tak menangkap lengannya.

“Mas Abi pulang ke sini dan mewarisi beberapa hektar tambak udang milik eyangnya,” Pak Joko melanjutkan cerita. Sebelumnya dia memang telah menjelaskan bahwa sebagian besar tambak udang di daerah itu adalah milik orang yang bernama Abi tersebut. “Semua orang di desa menganggap Mas Abi udah gila pas dia malah membeli lebih banyak lahan tambak udang milik warga. Warga sih, karena tambak udang mereka udah tidak lagi berproduksi, ya kebanyakan memutuskan untuk menjual sama Mas Abi. Nggak sampai di sana aja, Mas Abi memutuskan untuk kembali memproduksi udang windu seperti sedia kala. Kami makin tak mengengerti sama Mas Abi. Udah jelas-jelas gagal, kok masih mau mengulang kegagalan yang sama. Tapi dia tak begitu peduli dengan cemoohan orang. Dia tetap lanjut dengan keputusannya. Dia juga memperkerjakan orang-orang yang sudah menjual tambak padanya biar mereka bisa memiliki sumber penghasilan lagi. Mas Abi kemudian melakukan banyak perubahan terhadap sistem produksi. Dia mendatangkan orang-orang dari Dinas Perikanan dan bekerja sama dalam mendatangkan vaksin yang bisa membuat udang windu lebih tahan penyakit. Sistem pemasaran dan distribusi juga dikelola dengan baik. Mas Abi membuat kerja sama dengan banyak restoran-restoran sea food baik di Jawa Timur maupun di luar Jawa Timur. Tak beberapa lama, kami bahkan sudah bisa mengimpor udang-udang kami ke negara tetangga. Semua berkat inovasi yang dilakukan oleh Mas Abi.”

THE WEDDING AFFAIRS [PO ke-2 22 Mei - 12 Juni]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang