3. Awal Dari Semuanya

111 6 2
                                    

Di suatu sore, seperti biasa dia pergi ke Caffè Parlare untuk menjadi seorang barista. Tak setiap hari dia bekerja disana, hanya di hari libur saja. Hari itu dia mendapat libur sebagai hari tenang sebelum menjalani Ujian Akhir Semester, yang mestinya dipakai untuk mendalami materi, tapi dia malah bermain dengan biji-biji kopi beserta alat seduh. Entah kenapa hari itu sepi pengunjung, hanya ada beberapa orang. Rifqi membuka lemari pendingin, dia mengambil sebotol kopi cold brew yang dibuat oleh Kang Arief, barista tetap disana bersama Kang Ari. Dia duduk di bar, menuangkan kopi cold brew kedalam gelas kecil dan perlahan meneguknya. Tatapan matanya kosong, melamun di setiap detiknya. Dia melepas apron, menuangkan kopi kedalam gelas kecil untuk kedua kalinya kemudian diteguk secara perlahan. Tatapan matanya makin kosong, dia masih melamun. Kemudian dari belakang ada yang menepuk pundaknya, dia pun langsung membalikan badan, melihat siapa yang datang. Ternyata bukan orang asing bagi Rifqi, dia temannya yang kini menjadi mahasiswa ilmu bisnis di salah satu universitas ternama di Kota Bandung , dia bernama Kemal. Selain itu, Kemal juga menyukai kopi, bahkan memiliki gelar Q-Grader, sebuah gelar bagi orang yang sudah memahami setiap karakteristik kopi arabika menurut standarisasi internasional dan menjadi gelar yang ingin Rifqi dapatkan. Kemal pun menyapa Rifqi dengan sebuah senyuman dan menanyakan kabar. Rifqi membalas senyum dan mengatakan kalau dia kurang baik serta tak lupa menawarkan secangkir kopi cold brew miliknya. Setelah itu, Rifqi tak banyak bicara. Ia kembali menuangkan kopinya, memejamkan mata seraya meminum kopinya. Perpaduan antara acidity dan body yang tipis serta after-taste  yang menyerupai karamel menghadirkan sebuah kenyamanan tersendiri. Apalagi terselipkan rasa jagung, membuat kopi itu terasa nikmat. Kopi itu berasal dari perkebunan yang ada di Curug Orok dan diproses secara honey. Rifqi kembali melamun, terdiam untuk kesekian kalinya. Tiba-tiba Kemal menepuk pundaknya lagi seraya bertanya, “Eh Qi! Lo kenapa?” Kemudian Kang Arief menimpal, “Iya, perasaan daritadi ngelamun mulu. Kayak yang lagi banyak pikiran.” Tak hanya mereka berdua, Kang Ari yang sedang menyeduh pun ikut menimpal, “Mungkin dia galau abis diputusin pacarnya, biasalah anak muda.” Seisi bar tertawa,kecuali Rifqi. Dia masih saja terdiam dengan tatapan mata yang kosong. Tak lama dari itu, daripada menjawab pertanyaan Kemal, dia lebih memilih bertanya balik. “Mal, lo masih inget sama Ayla?” tanya Rifqi kepada Kemal. Dengan nada kebingungan Kemal menjawab, “Ayla? Oh gue tau. Lo pasti masih mikirin si Caitlin yaa? Ah kayaknya lo salah nonton film deh.” Kang Arief dan Kang Ari pun saling bertatapan, tanda tak mengerti. “Jadi gini, dulu si Rifqi nonton film ACDS. Nah di dalam film itu ada tokoh yang namanya Alya, diperanin sama Caitlin. Terus si Rifqi terobsesi sama dia sampe pengen ketemu segala. Terus alaynya, sampe sekarang masih aja kepikiran padahal udah hampir setaun.” jelas kemal. “Lagian sih lo malah nonton film baper-baperan kayak gitu.” sambungnya sembari sedikit tersenyum. Lagi-lagi seisi bar tertawa tanpa Rifqi. “Lah lo juga tau kan hidup di asrama sulit banget buat pergi ke luar, kayak ke bioskop. Apalagi di Garut kagak ada bioskop. Yaa daripada bete kepaksa nonton film kayak gituan, eh malah kebaperan.” jawab Rifqi dengan nada kesal. Sedikit bercerita,menonton film adalah salah satu cara Rifqi menghapuskan rasa bosannya. Namun bagi kalangan santri yang punya jam belajar lebih, sangat sulit untuk keluar dari tempat yang terkenal dengan sebutan Penjara Suci, termasuk untuk pergi menonton ke bioskop. Ditambah dengan Kota Garut yang tidak memiliki bioskop, membuat film bajakan menjadi solusi. Bukannya tidak mau menghargai, tapi mereka tak punya pilihan lain. Di suatu hari di akhir tahun dua ribu enam belas dia menonton film ACDS dan terpesona akan Ayla yang diperankan Caitlin Halderman. Bahkan sampai setahun lamanya pun Rifqi masih memikirkan wanita berdarah Belanda-Indonesia tersebut. Sampai-sampai terobsesi ingin bertemu dengannya. Itulah yang membuat sedari tadi Rifqi melamun, pikirannya tak bisa lepas dari bayang-bayang Caitlin. Masih dengan keadaan bar yang dipenuhi tawa, giliran Kang Arief yang bersuara, “Kalo kata gue, hidup mah yang pasti-pasti aja. Ada sih kemungkinan lo bisa ketemu sama artis, tapi kecil. Udah, mending lo sekarang pake apron terus nyeduh lagi. Nih ada yang pesen Surak Ibra pake aeropress.” Karena merasa seisi bar setuju, Rifqi pun kembali memakai apron dan segera berjalan ke balik bar untuk menyeduh kopi.

Mencari CaitlinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang