Sepulangnya dari stasiun, Rifqi langsung diam di kamarnya. Tak ada kata lain dari mulutnya selain umpatan-umpatan kekesalan. Dia menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. Setelah puas mengumpat, dia terdiam. Jarum jam sudah menunjuk ke angka tiga tapi orangtuanya belum juga pulang. Ia menjatuhkan badannya diatas kasur, menatap langit-langit kamar yang berwarna putih bersih, kemudian memejamkan mata mencoba untuk rehat sejenak dari kegilaan yang baru ia alami.
Jarum jam panjang tepat berada di angka empat, sayup-sayup suara adzan ashar kian mengeras, membuat Rifqi terbangun. Dengan sigap ia mengambil smartphone untuk menelepon ibunya. "Assalamualaikum, bu lagi dimana? Rifqi ke Caffè Parlare yaa." Dari kejauhan ibunya menjawab, "Waalaikumsalam. Ibu masih di Bandung, kayaknya bakal pulang malem. Oh iya, tapi pulangnya jangan kemaleman." Rifqi setuju, kemudian menutup telepon dengan ucapan salam. Rifqi bergegas pergi ke mesjid yang letaknya tak jauh dari rumah, mengambil air wudhu kemudian mendirikan sholat ashar empat rakaat. Setelah itu ia kembali ke rumah dan bersiap-siap. Dengan setelan pakaian yang ia kenakan ke stasiun, ia berangkat menggunakan motor hadiah ulang tahun dari ayahnya. Sore itu jalanan tidak terlalu ramai, hanya sedikit kendaraan yang melintas tak seperti biasanya. Ia memacu motornya, mengaspal dengan cepat. Dengan waktu tempuh sekitar dua puluh menit, ia sampai di Caffè Parlare yang sedang sangat ramai didatangi pengunjung. Tanpa berbicara, ia masuk ke balik bar, memakai apron dan duduk di depan mesin kasir. Kang Ari yang sedang menyeduh kopi menatapnya heran dan tanpa diminta Rifqi seakan menjawab tatapan itu, "Udah Kang nyeduh aja, hari ini gue yang ngejaga kasir." Kang Ari hanya menggelengkan kepala kemudian kembali menyeduh kopi sedangkan Rifqi hanya tersenyum kemudian memainkan smartphone-nya. Keheningan bar seketika buyar ketika Rifqi kembali berkata, "Kang password wifi diganti yaa? Jadi apa?" Tiba-tiba Kang Arief yang baru turun dari lantai dua menghampiri Rifqi seraya berkata, "CAITLINHALDERMAN! Biar lo seneng." Tapi dengan datarnya Rifqi berkata, "Oke makasih Kang. Tapi sayangnya gue gak seneng." Tanpa menghiraukan perkataan itu Kang Arief berlalu dengan begitu saja.
Sore itu tak ada meja kosong, hanya menyisakan empat kursi di depan bar. Bar kembali hening, kedua barista sibuk dengan smartphone-nya masing-masing, termasuk Rifqi yang hari itu hanya menjaga kasir. Merasa bosan tak ada kerjaan, Rifqi membuka laci di bawah mesin kasir dan mengambil sebungkus biji kopi karolingga ukuran lima ratus gram, "Kang, gue minta lima belas gram yaa." ucap Rifqi sambil tersenyum. Tanpa ada persetujuan dari si pemilik yang entah siapa, Rifqi mengambil lima belas gram kemudian menghaluskannya di grinder latina dengan grind size nomor tiga. Kemudian mengambil V60 beserta beberapa alat yang ia perlukan.
Seusai menyeduh kopi, Rifqi kembali duduk di depan mesin kasir. Tak lama dari itu, tiba-tiba datang seorang perempuan tinggi dan berambut panjang lalu berdiri di depan bar. Rifqi menoleh lalu dengan cerewetnya ia memberikan penawaran, "Selamat sore, selamat datang di Caffè Parlare. Silahkan mau pesan apa? Khusus untuk hari ini manual brew hanya menggunakan kopi garutan dan itu sangat direkomendasikan. Atau mungkin mau pesan cappuccino brullè yang manis kayak mba?" Rifqi menutup penawaran dengan senyuman. Perempuan itu hanya tersenyum dan disusul dengan perkataan Kang Arief, "Lah Qi, lo sehat? Masa ucapan selamat datang sambil modus kayak gitu harus dikasih ke pegawai juga?" Kang Arief tertawa terbahak-bahak. Rifqi yang tak mengerti hanya diam. Sementara Kang Arief tertawa, Kang Ari masih terlihat asyik dengan smartphone lalu berkata, "Jadi gini Qi, kenalin ini Teh Putri. Dia pegawai baru disini, khusus ngejaga kasir." Rifqi kembali menoleh kepada perempuan yang bernama Putri itu. Sambil tersenyum, Teh Putri mengulurkan tangan, mengajak berkenalan. "Yaah kalo gini gue gak bisa modus jadi tukang kasir kalo males nyeduh dong!" canda Rifqi sambil melepas apron dan duduk di bar.
Setelah menemukan posisi yang pas di depan bar, Rifqi menyalakan televisi yang menggantung indah di samping tangga. Ketika baru dinyalakan, televisi itu sudah menayangkan acara berita di salah satu saluran televisi swasta. Sambil menyeruput kopi ia tak terlalu memperhatikan isi berita. Namun tak lama dari itu ia perlahan terdiam. Berita itu berisi tentang kerusuhan di stasiun pasar senen, tempat yang hendak ia tuju tadi siang. Usut punya usut kerusuhan itu dipicu karena ada beberapa oknum yang merasa keberatan dengan pemberhentian operasi kereta serayu pagi selama tiga hari. Selain perjalanan kereta menjadi terganggu, kerusuhan tersebut menyebabkan beberapa orang-orang menjadi korban luka bahkan korban jiwa. Kang Arief yang sedari tadi menyimak isi berita menepuk pundak Rifqi kemudian berkata, "Gue udah bilang kehidupan di Jakarta itu keras. Terserah lo gak mau ngedengerin perkataan gue dan ngotot pergi ke Jakarta, bukan urusan gue. Tapi jangan sampe lo bilang gue gak pernah ngingetin." Rifqi hanya terdiam sedangkan Kang Arief pergi dan menyeduh kopi untuknya.
Semenjak mendengar berita tersebut, Rifqi jadi tak banyak bicara. Ketika di rumah pun ia hanya mengurung diri di kamar. Mungkin ini fase terkikisnya rasa idealis beserta ego sebelum hilang ditelan waktu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Mencari Caitlin
RomanceTerinspirasi dari tulisan yang berjudul "Mencari Herman" karya Dee Lestari. Berisikan kisah tentang seorang remaja yang gila akan sebuah obsesi.