Keesokan harinya kondisi Rifqi makin membaik. Bahkan dokter sudah mengizinkannya pulang. Tepat pukul lima sore Rifqi keluar dari rumah sakit. Dia kembali berjalan kaki, namun tanpa tujuan. Iya berjalan lurus sampai ke pertigaan. Disana Rifqi terdiam, dia kebingungan memilih jalan mana yang akan ia pilih. Entah dengan dasar apa dia berbelok ke arah kanan. Dari sana ia kembali berjalan lurus. Syukurlah ia memilih jalan yang tepat karena di sepanjang jalan berjajar rumah makan. Dia melihat sekeliling, mencoba mencari hal yang membuatnya tertarik, namun hasilnya nihil. Rifqi terus berjalan sambil mencari tempat yang dirasa cocok untuknya. Namun sial, hujan turun terlebih dahulu sebelum ia mendapatkan tempat terbaik. Karena hujan makin deras, ia berlari ke arah sebuah kawasan pertokoan yang berjajar rapih. Hujan tak kunjung reda, membuat Rifqi harus berdiri lama disana. Lama-lama rasa bosan menghampiri Rifqi bersama udara dingin yang makin menjadi-jadi. Tapi tak banyak hal yang bisa ia lakukan selain menunggu. Sampai suatu ketika, hidungnya mencium aroma yang tak asing lagi. Aroma secangkir kopi. Ia melihat sekeliling, mencari dari mana asal aroma itu. Tanpa disadari, ia tepat berdiri di depan sebuah coffee shop, sebuah tempat yang pasti membuatnya tertarik. Tanpa berpikir panjang, ia masuk ke dalam coffee shop yang bernama Coffee Smith itu dan langsung menuju bar. Di samping bar itu terdapat sebuah rak kecil yang terisi sepuluh buah toples biji kopi. Rifqi menghampiri rak itu dan berdiri di depannya. Seorang barista berjalan menghampiri Rifqi. Namun sebelum barista itu tepat berada di sampingnya, Rifqi sudah terlebih dahulu membuka satu persatu toples dan menghirup aromanya, bahkan menyebutkan jenis-jenisnya. "Toples pertama, bali kintamani. Kedua, flores bejawa. Ketiga, papua wamena di sampingnya baliem. Kelima karolingga. Keenam, aceh gayo dan ini abyssinia si kopi tua. Kedelapan, sulawesi malino. Kesembilan, kayu aro. Eh salah, bukan itu." Karena merasa salah dia kembali menghirup aroma kopi di toples kesembilan. "Oh iya, toples kesembilan kopi mandhailing natal dan yang kesepuluh," Rifqi menghirup aroma kopi di toples ke sepuluh. Dia terdiam, merasa tak percaya, "Ini kopi surak ibra punya Kang Ben! Sweet, lemon, tea like, floral, rose like, malt and caramel intense." Rifqi tersenyum. Seorang barista yang sedari tadi memperhatikan kelakuan Rifqi bertepuk tangan dari belakang. Rifqi menoleh dan kembali tersenyum. "Ternyata skill penciuman lo mantap juga yaa. Kalo boleh tau, kenapa lo bisa tau semua jenis kopi yang ada di toples? Oh iya kenalin nama gue Rendi, barista disini." kata barista itu. Rifqi masih tersenyum kemudian menjawab pertanyaan tadi dan tak lupa memperkenalkan diri, "Itu sih gampang, kita tinggal berteman baik sama kopi. Gue Rifqi dari Garut." Setelah itu Rifqi berjalan menuju bar dan duduk tepat di ujung bar. "Selain itu, gue lagi ngejar Q-Graders dan ditambah kecintaan gue sama kopi, bikin gue ingin terus berkenalan lebih jauh sama kopi." sambung Rifqi. Rendi hanya menjadi pendengar setia dan mengangguk-anggukan kepala. "Jadi gimana? Gue bisa dapet secangkir kopi disini?" tanya Rifqi sambil tertawa. "Oh jelas bisa." jawab Rendi mantap. "Karolingga, V60, grinder size tiga, rasio satu banding empat, main di suhu sembilan puluh dua. Blooming kurang dari semenit." pesan Rifqi sedetail mungkin. "Lah Bang komplit amat. Bikin sendiri aja dah." canda Rendi sambil tertawa terbahak-bahak. "Oh boleh bikin sendiri? Yaudah gue masuk bar yaa." kata Rifqi yang menanggapi serius candaan Rendi. Dia tak bisa berkata apapun dan hanya tertawa melihat Rifqi yang bergegas masuk ke bar dan menyiapkan segala kebutuhannya. Rifqi menyeduh kopi sesuai dengan pesanan dirinya sendiri kemudian kembali duduk di bar bersama secangkir penuh kopi. "Gue suka kopi ini karena after taste-nya rasa tanah vulkanik dan itu unik. Mau nyoba buatan gue?" tanya Rifqi sembari menyodorkan cangkir kopinya. Rendi mengambil cangkir itu, menghirup aromanya dan menyeruput kopi. Dia terdiam beberapa saat dan setelah itu kembali menyeruput kopi. "Gila! Ini enak banget!" puji Rendi kepada kopi buatan Rifqi.
Mereka menikmati malam bersama beberapa cangkir kopi. Menghangatkan ruangan dengan canda tawa. Mengisi keheningan dengan obrolan-obrolan yang tak ada habisnya. Malam makin larut, namun hujan tak kunjung reda, memaksa mereka untuk tidur di kedai. Yaa seperti itulah kopi, mampu mengakrabkan makhluk Tuhan. Bahkan yang baru kenal sekali pun.

KAMU SEDANG MEMBACA
Mencari Caitlin
RomantizmTerinspirasi dari tulisan yang berjudul "Mencari Herman" karya Dee Lestari. Berisikan kisah tentang seorang remaja yang gila akan sebuah obsesi.