20. Hari Terakhir

11 1 0
                                    

Hari berikutnya setelah pencarian. Pagi menjelang siang, ia baru terbangun setelah tertidur pulas selepas sholat shubuh. Tepat sepuluh menit sebelum Coffee Smith buka, ia sudah berpenampilan rapih dan memakai apron. Tak hanya itu, bar juga sudah terlihat rapih, semua alat seduh sudah ada diatasnya. Dia berdiri di balik bar, menatap sekeliling secara perlahan. Sementara itu Rendi baru sampai dan melambaikan tangan dari kejauhan. "Eh nyet, lagi liat apaan lo?" teriaknya sambil terus berjalan. "Kagak, cuma pengen menikmati sisa-sisa waktu yang ada aja." jawab Rifqi santai. "Lah jangan-jangan lo mau bunuh diri gara-gara gak ketemu Caitlin yaa?" Rendi tersentak. "Yaa gak gitu juga kali. Sore ini gue bener-bener mau balik ke garut. Nanti jam setengah 2 baru berangkat ke stasiun senen." jelas Rifqi. "Kok siang amat? Gue anterin yaa." kata Rendi sambil memakai apron. "Nggak ah. Gue pengen sendirian, berjalan kaki menikmati ibukota." katanya sumringah. "Yaudah kalo gak mau. Cek lagi barang-barangnya, takut ada yang ketinggalan." kata Rendi. "Siap laksanakan komandan!" teriak Rifqi sambil memberikan hormat layaknya sedang upacara pengibaran bendera. "Udah ah ayo kerja!" ajaknya sambil mengambil beberapa bungkus biji kopi dari lemari di bawah bar.

Ramai pengunjung, membuat para barista harus bekerja lebih keras lagi, termasuk Rifqi. Namun ada perbedaan antara Rifqi dengan barista yang lainnya. Jika barista lain siap melayani semua jenis kopi, khusus di hari terakhirnya ia hanya ingin melayani setiap pengunjung yang memesan kopi dengan aeropress. Bar penuh dengan canda tawa, seolah setiap obrolan tak ada habisnya. Suara musik populer dari pengeras suara memenuhi ruangan, mengisi tiap sudut Coffee Smith. Sampai jam makan siang tiba, entah berapa gelas kopi yang sudah ia buat dengan aeropress. Bahkan makin siang, pesanan makin membeludak. "Ren gue sholat dulu. Kalo ada yang pesen pake aeropress, catet dulu aja. Biar gue yang bikinin." pesannya kepada Rendi yang sedang melayani pembayaran di meja kasir.

Selepas sholat dzuhur, ia kembali ke balik bar dengan apronnya. Dia mengambil aeropress dan disana tertempel sebuah kertas kecil berisikan pesanan. Sekarang ia harus membuat lima cangkir kopi. Dengan sigap ia mengambil lima toples biji kopi sesuai pesanan, menimbang tiap-tiap biji kopi dan mengatur tingkat kehalusan pada grinder. Tak butuh waktu lama, dalam waktu kurang dari setengah jam, ia sudah menyelesaikan kelima pesanan tersebut.

Merasa sudah tidak ada lagi pesanan kopi dengan aeropress, Rifqi melepas apron dan duduk di sofa yang ada di balik bar. Diam mematung sembari memperhatikan jam dinding. Menutup mata, perlahan menarik napas panjang, "Sudah waktunya." katanya dalam hati. Matanya masih tertutup, menikmati beberapa detik sebelum benar-benar beranjak dan mengambil carrier-nya yang tergeletak di pojok bar, dekat lemari pendingin. "Rendi." panggilnya sambil menunjuk jam dinding. "Oh udah mau pulang yaa. Yaudah hati-hati di jalan. Jangan lupain semua hal yang terjadi di ibukota beserta orang-orangnya." kata Rendi dengan mata sedikit berkaca-kaca. Rifqi menghampiri semua barista yang masih sibuk menyeduh, memeluknya satu-satu. "Oke semuanya gue pamit. Nitip aeropress yaa, karena berkat benda itu gue jadi punya banyak temen disini. Gue juga nitip salam buat Pak Adi yang udah ngizinin gue nginep disini." kata terakhir Rifqi sebelum keluar dari bar sembari menyeret carrier-nya.

Saat Rifqi sudah berada di teras, sekali lagi ia membalikan badan, melihat ramainya pengunjung. Dari kejauhan juga Rendi beserta barista yang lainnya melambaikan tangan, pertanda perpisahan. Bahkan tak hanya mereka, semua pengunjung yang mengenalnya ikut melambaikan tangan. Membuat suasana sedikit haru, di hari terakhir.

Mencari CaitlinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang