Malam berganti siang. Matahari sudah makin terik, sedikit lagi mencapai ujung langit. Tepat jam setengah dua belas siang Rifqi baru terbangun dari tidurnya. Bahkan setelah Coffee Smith buka dan dipenuhi pengunjung. Wajar saja, Rifqi tidur jam lima pagi setelah selesai mengobrol dan mendirikan sholat shubuh. "Ren, kok lo gak ngebangunin gue? Malu kan diliatin orang-orang di bar." kata Rifqi kesal. "Lah lagian lo susah banget dibangunin. Gue juga kasian, lo nyenyak banget kayak yang lagi mimpiin Caitlin." ejek Rendi. "Yaelah pagi-pagi gini udah ngejek orang lo!" bela Rifqi. "Hah?! Pagi? Lo bener-bener mabok caitlin yak?. Liat tuh jam dinding!" Rendi kembali tertawa. "Astagfirulloh!" Iya, hanya kata itu yang keluar dari mulut Rifqi ketika melihat jam dinding kayu berukirkan logo Coffee Smith. Rifqi bergegas pergi ke wastafel dan mencuci muka. Setelah itu kembali ke balik bar dan membantu menyeduh kopi. Siang itu terasa sangat panas, membuat kopi cold drip, cold brew dan japanese style menjadi kopi yang sering dipesan. Tak hanya menyeduh, Rifqi juga dikenalkan kepada pengunjung yang sering pergi kesana dan para barista bahkan ke pemilik Coffee Smith. Suasana disana tak jauh berbeda dengan Caffè Parlare. Rifqi makin merasa nyaman.
Waktu memang tak bisa ditahan. Tak terasa dinginnya angin malam menyapa ibukota. Entah berapa cangkir kopi yang sudah ia buat, namun tak terlihat sedikitpun raut muka kelelahan. Sepertinya Rifqi memang sangat menikmati pekerjaannya sebagai barista, walaupun cita-citanya ingin menjadi seorang dokter spesialis mata. Meskipun malam makin larut, orang-orang terus saja berdatangan untuk menikmati secangkir kopi, membuat Rifqi bersama barista yang lainnya terus menyeduh. Berbeda dengan siang tadi, secangkir cafè latte dan cappuccino hangat banyak dipesan di malam yang terasa dingin. Menjelang waktu tutup, para pengunjung mulai berdatangan ke kasir untuk membayar dan pergi meninggalkan Coffee Smith. "Qi, malem sekarang nginep disini lagi yaa? Mumpung roaster ngasih kopi baru. Jadi bisa sekalian cupping juga. Yaa ngitung-ngitung tambahan ilmu buat ngejar gelar Q-Graders." ajak Rendi. "Mau ada kopi baru atau kagak juga gue bakal tetep tidur disini kali. Ngejek lo yak? tatap Rifqi sinis kemudian mereka berdua tertawa. Tak hanya Rendi yang jadi barista disana, masih ada Gilang, Dio dan Bang Iwan, barista senior bergelar Q-Graders. Tepat pukul sebelas malam, kedai tutup tapi semua barista masih tetap didalam. Rendi pergi ke gudang untuk mengambil kopi baru. Rifqi beserta ketiga barista mempersiapkan semua alat yang akan digunakan. Tak lama setelah alat-alat siap, Rendi kembali dari gudang dan membawa tiga bungkus biji kopi ukuran lima ratus gram. "Kata roaster sengaja gak dikasih nama dan barista harus nebak. Dikira kuis kali yak." kata Rendi sembari meletakkan bungkusan kopi diatas bar.
Singkat cerita, cupping kopi sudah selesai. Mereka menyalakan rokok, kecuali Rifqi. Semuanya hening. Mereka sibuk dengan smartphone-nya masing-masing dan lagi-lagi tanpa Rifqi karena dia sengaja meninggalkan smartphone-nya di rumah. Dia hanya menikmati kopi buatannya sembari membaca buku tentang kopi milik Bang Iwan. Tiba-tiba Rendi berkata dan memecah keheningan, "Qi, maafin gue yaa. Tapi gue rasa semuanya berakhir. Dia pergi." Rendi memberikan smartphone-nya dan terlihat snapgram Caitlin sedang berada di bandara bertuliskan 'I'm coming Singapore!'. Rifqi hanya terdiam, merasa tidak percaya. Snapgram itu dibuat Caitlin pukul sembilan pagi dan berarti dia sudah pergi. Rifqi tertunduk lemas. Semua orang memeluknya bersamaan. Mata Rifqi mulai berkaca-kaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mencari Caitlin
RomanceTerinspirasi dari tulisan yang berjudul "Mencari Herman" karya Dee Lestari. Berisikan kisah tentang seorang remaja yang gila akan sebuah obsesi.