Hari-hari gila bersama soal-soal gila didalamnya sudah berhasil Rifqi lewati. Iya, dia telah menyelesaikan UASnya. Bukan perkara mudah baginya bisa melewati UAS dengan tenang. Selalu ada saja kejadian-kejadian yang membuatnya tidak nyaman. Maka dibutuhkan kesabaran, apalagi ditambah dengan obsesinya kepada Caitlin. Beruntung baginya tidak harus melakukan remedial karena semua nilainya diatas kriteria kemampuan minimal atau yang lebih akrab disebut KKM. Bahkan nilai yang paling kecil pun berselisih nol koma lima lebih besar dari KKM. Dia pun tak kebanyakan berpikir, ketika jarum jam menunjuk ke sebuah tempat kosong diantara angka dua dan tiga, dia langsung pergi ke Caffè Parlare untuk menjadi seorang barista. Sesampainya disana, coffee shop itu sudah penuh dan hanya menyisakan beberapa kursi tak bertuan. Rifqi langsung pergi ke balik bar dan memakai apron kemudian menyapa Kang Arief dan Kang Ari yang sudah datang lebih awal. Karena Rifqi baru datang, maka dia yang berkewajiban membuat beberapa kopi pesanan pelanggan yang baru datang. Dia membuat dua gelas ice vietnam drip, tiga cangkir cafè latte dan beberapa cangkir espresso. Setelah membuat beberapa kopi tadi, selang beberapa menit dia harus membuat kopi lagi. Kali ini dia membuat single origin bali kintamani dengan aeropress dan yellow bourbon dengan pour over. Setelah membuat dua kopi tadi, barulah ada sedikit waktu istirahat untuknya. Rifqi sangat menyukai pekerjaannya sebagai barista di Caffè Parlare, meskipun terasa melelahkan, bersifat tidak tetap dan hanya diberi upah lima puluh ribu perhari.
Setelah Caffè Parlare tutup, barulah para barista dan pegawai yang menikmati tiap cangkir kopi. Segelas kopi yellow bourbon yang diseduh dengan japanese style menemaninya melewati malam gelap. Tanpa diminta, Rifqi menceritakan tentang tidak adanya balasan direct message dari Caitlin. Lagi-lagi Kang Arief dan Kang Ari merasa iba. Tak lama dari itu, Kang Arief berkata, “Kalo kata gue sih udahlah lupain aja. Lagian kecil juga kan kemungkinannya. Yaa kecuali kalo lo pergi ke rumahnya.” Kang Arief menutup pembicaraan dengan menyeruput kopinya. Seketika mata Rifqi berbinar, senyumannya mengembang. Rasanya sebuah harapan baru muncul, memberikan ketenangan pada jiwa yang kian rapuh. “Iya Kang, abis pembagian buku laporan gue mau ke rumahnya, ke Jakarta. Makasih Kang sarannya.” kata Rifqi sembari tersenyum. “Eh Qi, maksud gue gak gitu. Lo ke Jakarta juga belum tentu ketemu.” nada Kang Arief panik. “Lah gila aja kalo lo bener pergi ke Jakarta, bahaya Qi!” timpal Kang Ari. Rifqi tak berkata lagi, dia hanya tersenyum menanggapi perkataan dua ‘gurunya’. Perkataan Kang Arief yang awalnya bertujuan agar Rifqi melupakan Caitlin, berakhir dengan munculnya harapan baru baginya. Memang sudah sepantasnya semua orang dibebaskan untuk menafsirkan setiap kejadian, perbuatan dan perkataan. Tapi harus tetap dengan akal dan logika serta mengenyampingkan ego.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mencari Caitlin
RomanceTerinspirasi dari tulisan yang berjudul "Mencari Herman" karya Dee Lestari. Berisikan kisah tentang seorang remaja yang gila akan sebuah obsesi.