Dia berjalan diatas trotoar jalan, bersama kesendirian layaknya hari-hari awal berada di ibukota. Dengan berbekalkan salinan gambar jalan dari google maps, ia berjalan mengikutinya.
Kebiasannya mendaki gunung, membuatnya tak kesulitan ketika diharuskan berjalan kaki jauh. Rasanya tak akan ada hambatan dan perjalannya ke stasiun akan lancar-lancar saja, terkecuali jika turun hujan. Untung saja, siang itu cuacanya cukup cerah dan kecil kemungkinan akan turun hujan. Ia terus berjalan mengikuti peta buatan Rendi, menapaki tiap inci ibukota bagian timur. Tak ada pemandangan lain, selain gedung-gedung yang menjulang tinggi dan kendaraan-kendaraan yang memadati jalanan. Setelah cukup jauh berjalan, dia berhenti di sebuah parkiran, melepaskan carrier-nya dan duduk kemudian mengambil air minum dari saku carrier. Cukup melelahkan, tapi menyenangkan layaknya mendaki gunung sungguhan. Karena tidak bisa berlama-lama, selang beberapa menit dia kembali memangku carrier-nya dan berjalan kaki. Dia melihat jam tangan, masih ada waktu sekitar empat jam sebelum keberangkatan kereta serayu malam dari stasiun senen. Dia bertekad tidak akan banyak beristirahat di jalan mendapatkan waktu lebih lama ketika berada di stasiun. Dengan tekadnya itu, ia terus berjalan dengan ritme yang konsisten.
Satu jam berlalu, dia masih berjalan kaki di trotoar di bawah langit yang mulai mendung, memaksanya untuk berjalan lebih cepat karena takut akan turun hujan. Namun tetap saja sial. Alih-alih mempercepat perjalanan dan bertekad tidak akan banyak beristirahat, gemercik hujan turun dari relung langit dan perlahan membesar, mengharuskannya berlari ke parkiran sebuah mini market. Meneduh, sebuah pekerjaan yang tak suka ia lakukan karena bersamanya selalu hinggap rasa jenuh dan bosan. Rifqi melepaskan carrier-nya kemudian duduk di sampingnya. Ada keinginan untuk menikmati secangkir kopi, tapi ia malas membuatnya.
Dia hanya terdiam, mengamati tiap tetes air yang turun dari langit. Bukan hanya bosan dan jenuh, bahkan hujan mampu membuat Rifqi merasa lapar. Ia berdiri, berjalan memasuki mini market sambil menyeret carrier-nya. "Bang, gue nitip ini yaa." katanya sambil menunjuk ke arah carrier kepada seorang kasir saat tepat berada di dalam mini market. Setelah mendapat persetujuan, dia berjalan mencari barang yang hendak ia beli. Tak butuh waktu lama untuk berbelanja, karena dia mengambil makanan kesukaannya, keripik kentang, roti cokelat dan susu sapi full cream. Sambil berjalan menuju meja kasir, ia terus memandangi hujan yang tak kunjung reda. Setelah membayar belanjaannya, sesegera mungkin ia berjalan keluar sambil menyeret lagi carrier-nya.
Dia kembali duduk di teras. Sambil memandangi derasnya hujan, dia makan dengan lahapnya. Meskipun merasa kesal, tak ada umpatan yang keluar dari mulutnya. Karena ia tahu, bahwa hujan adalah salah satu anugerah, sisi kebaikan Tuhan. Hanya ada perasaan khawatir, takut tak bisa pulang ke garut. Kali ini ia benar-benar pasrah, mencoba menerima semua kenyataan.
Satu jam berlalu, ia masih saja melakukan hal yang sama, menikmati makanan kesukaannya sambil memandangi hujan. Namun hujan yang sekarang perlahan reda. Tak ada kata selain puji syukur kepada Tuhan yang diucapkannya. Dia sedikit tersenyum, mengubah wajahnya yang sedari tadi murung karena kesal. Masih dengan posisi yang sama, dari seberang jalan datang seorang perempuan memakai kaos polos berwarna putih dan rok selutut berwarna hijau tosca, dengan membawa payung tentunya. Rambutnya diikat rapih ke belakang dengan pita berwarna hitam, membuatnya tak terlihat. Tidak hanya ikat rambutnya yang tak terlihat, wajahnya pun tak sepenuhnya terlihat karena ia memakai masker dan menutupi sebagian bawah wajahnya. Perempuan itu makin mendekat ke arah Rifqi, dia memicingkan matanya, mencoba mengamati. Seperti wajah yang tak asing baginya. Ketika melewatinya, perempuan itu sedikit meliriknya, membuat Rifqi cepat-cepat mengalihkan pandangannya.
Selang beberapa menit, berbarengan dengan hujan yang semakin reda, perempuan itu keluar dari dalam mini market dengan kantong plastik di tangan kanannya, menggantikan posisi payung sebelum memasuki mini market. Sekali lagi perempuan itu sedikit melirik ke arahnya, membuatnya harus kembali mengalihkan pandangannya. Setelah perempuan itu menyeberangi jalan, barulah Rifqi berdiri, memangku carrier dan berjalan mengikutinya dari belakang. Perempuan itu terus berjalan, memasuki sebuah komplek perumahan yang terlihat mewah dan tak terlalu jauh dari mini market tadi. Dia terus berjalan, seperti tidak merasakan kehadiran Rifqi. Entah kenapa, hal itu membuat Rifqi sedikit percaya diri dan mempercepat langkahnya. Namun tanpa disangka-sangka, setelah Rifqi sedikit mendekat perempuan itu menghentikan langkahnya, berdiri tepat di depan Rifqi. Dengan refleks, Rifqi membalikan badan dan perlahan berjalan menjauh. "Eh lo! Ngapain ngikutin gue dan pas ketauan malah pergi?" teriak perempuan itu. Perlahan Rifqi kembali membalikan badan, merespon teriakan tadi. Setelah benar-benar saling berhadapan, dengan memberanikan diri Rifqi mengangkat kepalanya. Dan ketika kepalanya terangkat, perempuan itu sudah melepaskan maskernya, membuat seluruh wajahnya nampak terlihat jelas. Rifqi tersenyum, ia riang bukan kepalang. Merasakan nyatanya mimpi di depan mata. Walaupun demikian, Rifqi tak langsung memperlihatkan kebahagiannya. "Eh nggak. Kenalin, nama gue Rifqi. Gue lagi liburan disini, eh malah kesasar. Terus pengen ke kamar mandi tapi bingung harus kemana. Yaudah gue ikutin lo. Yaa kali aja gue bisa numpang. Maaf kalo tindakan gue gak sopan." kata Rifqi, sepenuhnya berbohong. "Oh gitu. Yaudah ayo ikut. Rumah gue deket kok dari sini." ajak perempuan itu. Rifqi hanya terdiam dan sedikit tertunduk. "Kok diem? Ada yang salah?" tanya perempuan itu ketika melihat Rifqi. "Eh maaf, gue belum tau nama lo." kata Rifqi dengan sedikit terbata-bata. "Oh iya gue lupa, maaf yaa. Nama gue Caitlin, Caitlin Halderman." jawabnya santai. Rifqi makin terdiam, merasa tak percaya. "Udah dikasih tau, malah masih diem. Sangat membingungkan." kata Caitlin sambil kembali memakai maskernya. "Eh maaf." jawab Rifqi sigap. "Yaudah jadi ikut gak? Atau berubah pikiran mau ke kamar mandi umum aja? kalo mau, di depan komplek ada. Yaa paling bayar goceng." katanya sambil terus menunggu. "Nggak ah, gue mau numpang aja. Kan lumayan dapet gratisan." jawab Rifqi sambil tersenyum. "Giliran yang gratisan aja diikutin. Yaudah ayo." ajaknya lagi. Setelah itu tak ada lagi pembicaraan, mereka berdua kembali berjalan, sambil berdampingan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Mencari Caitlin
RomanceTerinspirasi dari tulisan yang berjudul "Mencari Herman" karya Dee Lestari. Berisikan kisah tentang seorang remaja yang gila akan sebuah obsesi.