14. Dalam Dekapan Ibukota (bagian 3)

22 2 0
                                    

Masih di hari yang sama dengan peristiwa shubuh di istiqlal, tepatnya hari jumat. Setelah membantu membersihkan komplek mesjid, bersiap-siap untuk sholat jumat dan melakukan ibadah sholat jumat, Rifqi kembali ke kamarnya. Tak banyak yang ia lakukan, hanya membaca buku-buku agama yang sudah ada di kamar itu sebelum Rifqi menempatinya. Belum selesai membaca satu buku, pintu kayu kembali di ketuk, menghasilkan bunyi yang tak karuan. Sayup-sayup suara salam terdengar di balik suara kayu tua nan kian rapuh. Rifqi bergegas membuka pintu dan menjawab salam. Ternyata Abdul yang mengetuk pintu untuk mengajak makan siang bersama. Rifqi menangguk, tanda sebuah persetujuan. Mereka berjalan ke arah taman mesjid. Dari kejauan terlihat Pak Sholeh beserta pengurus mesjid yang lain sudah menunggu. Mereka duduk berdekatan tepat di samping Pak Sholeh. Memang sudah menjadi kebiasaan selepas sholat jumat selalu diadakan jamuan makan siang bersama di taman mesjid. Setelah selesai makan, biasanya para pengurus mesjid berbincang-bincang dan membicarakan rencana kedepan dalam memakmurkan mesjid, semacam rapat kecil-kecilan. Merasa bukan kewajibannya, setelah makan ia pamit untuk kembali ke kamarnya. Ia mengeluarkan kotak berwarna hitam, kotak yang sama ketika pertama kali datang ke mesjid itu. Ia akan membuat kopi.

Untuk mengisi kekosongan waktu, ia kembali membaca buku. Sesekali ia berhenti membaca dan meminum kopinya. Baru beberapa jam ia berada di Ibukota, sudah lumayan banyak peristiwa yang ia lalui. Untuk kesekian kalinya ia kembali menutup mata, menghirup napas panjang. Waktu memang tidak bisa dimanipulasi, apalagi diberhentikan. Tak terasa adzan ashar sudah terdengar dari pengeras suara, memecah suara bising dari kendaraan-kendaraan yang mengaspal di jalanan. Rifqi segera bersiap-siap dan pergi ke mesjid.

Setelah selesai mendirikan sholat ashar berjamaah, Rifqi duduk di teras mesjid. Melihat padatnya jalanan ibukota dari kejauhan. Lumayan lama dari itu, Abdul datang dan duduk di samping Rifqi. "Gue pengen ke monas." kata Rifqi. Abdul yang baru datang langsung merespon, "Lah bukannya kamu jauh-jauh dateng kesini mau ketemu Caitlin? Kok jadi monas? Takut gak kejadian yaa?" ejek Abdul sambil tertawa. "Bukan gitu, gue udah pernah dua kali ke Jakarta tapi belum pernah ke monas." jelas Rifqi. "Oh gitu. Yaudah sekarang kita kesana." ucap Abdul kemudian berdiri. "Lo gak becanda kan?" kata Rifqi merasa tidak yakin. "Lah ngapain becanda? Dari sini ke monas deket kali." ucap Abdul mantap. Berangkatlah dua orang itu ke monas dengan menggunakan baju muslim lengkap dengan sarung dan peci. Mereka keluar dari komplek mesjid berjalan kaki menuju jalan lapangan banteng barat kemudian berbelok ke arah kanan di pertigaan pertama menuju jalan perwira. Dari sana mereka berdua lurus. Awalnya semua berjalan lancar, sampai suatu ketika malapetaka datang tepat saat mereka ada di depan SMPN 4 Jakarta, tiba-tiba sebuah mobil sedan berwarna merah masuk ke trotoar dan menyerempet Rifqi yang sedang berjalan kaki. Rifqi terjatuh, kepalanya membentur aspal dan pingsan. Orang-orang mengerumuni Rifqi. Abdul terlihat panik sekali. Salah satu orang yang mengerumuni menelepon mobil ambulans dan tak lama dari itu segera sampai di tempat kejadian. Tak hanya para medis yang datang, polisi pun terlihat sibuk mengurusi sopir mobil dan beberapa saksi. Rifqi dilarikan ke rumah sakit dengan ditemani Abdul sebagai orang yang dianggap mengenal Rifqi. Dengan suara sirine yang nyaring mobil ambulan mengaspal dengan cepat, membelah padatnya lalu lintas ibukota. Karena mobil ambulan itu milik rumah sakit asri, dari jalan perwira mobil itu berjalan menuju jalan duren tiga raya. Dengan waktu tempuh sekitar 13 menit, mobil ambulan sampai di halaman rumah sakit dan Rifqi segera dibawa masuk ke ruangan UGD. Tak banyak yang dilakukan Abdul, dia hanya duduk di bangku dan menunggu kabar dari dokter. Lumayan lama menunggu, tepat pukul setengah lima sore seorang perawat menghampiri Abdul dan mengatakan kalau Rifqi tidak kenapa-kenapa dan hanya pingsan saja, bahkan saat itu juga sudah bisa dipindahkan ke ruangan rawat inap. Abdul mengucapkan syukur dan segera mengurus administrasi kemudian meminta tolong kepada perawat itu untuk memesankan sebuah ojek online. Perawat itu menyanggupi dan tak lama dari itu sebuah ojek online sampai di tempat Abdul. Dia hendak pergi ke Mesjid Istiqlal untuk mengabari Pak Sholeh dan membawa barang-barang Rifqi.

Singkat cerita, Abdul sudah kembali ke Rumah Sakit Asri, lebih tepatnya di ruangan rawat inap yang sedang Rifqi tempati. Dia bersama Pak Sholeh berangkat menggunakan sepeda motor dan membawa barang-barang milik Rifqi. Saat itu Rifqi sudah terbangun dari pingsangnya. "Maafin yaa gue ngerepotin." ucap Rifqi sembari tertunduk lesu. "Iya gapapa kok, kan emang harus saling tolong-menolong. Nih saya bawa barang-barang kamu, siapa tau kamu butuh." balas Abdul. "Orang yang nyerempet kamu bawa mobil sambil mabok dan jelas itu salah dia. Makanya semua biaya perawatan medis dia yang tanggung. Bahkan ngasih uang buat kamu." timpal Pak Sholeh sembari memberikan amplop. "Kalo gitu, lebih baik Bapak sama Abdul kembali ke mesjid. Disini kan kalo ada apa-apa bisa minta tolong ke perawat. Lagian kewajiban kalian ngejaga mesjid bukan ngejaga orang yang baru kalian kenal." kata Rifqi sembari tertawa. Meskipun dirasa berat, perkataan Rifqi ada benarnya. Dengan berat hati Pak Sholeh dan Abdul pergi meninggalkan Rifqi seorang diri dan kembali ke Mesjid
Istiqlal.

Mencari CaitlinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang