13. Dalam Dekapan Ibukota (bagian 2)

28 2 0
                                    

Baru sebentar tertidur, seorang pemuda menghampirinya kemudian menggoyang-goyangkan badannya, mencoba untuk membangunkan. "Hei akhi, bangunlah." ucap pemuda itu yang terus ia ulangi sampai Rifqi terbangun. Perlahan Rifqi membuka matanya, mencoba melihat siapa yang membangunkannya di tengah malam. Setelah benar tersadar, Rifqi memeluk carrier-nya kemudian menjauh dari pemuda itu. "Tenanglah akhi, perkenalkan nama saya Abdul, salah satu pengurus mesjid ini." pemuda itu mencoba menenangkan Rifqi yang terlihat ketakutan. Rifqi meraih tangan pemuda itu sembari memperkenalkan diri dan asalnya. "Lah, kamu jauh-jauh dari Garut mau ngapain kesini? Cari kerja?" tanya pemuda itu makin penasaran. Rifqi menggelengkan kepalanya kemudian menjelaskan maksud dan tujuannya pergi ke ibukota. "MasyaAllah, hanya untuk mengejar artis kamu rela pergi sejauh ini?" dengan nada terkejut Abdul menggeleng-gelengkan kepalanya, pertanda tidak percaya. "Man jadda wa jadda, mimpi yang besar harus diraih dengan proses yang besar juga." Rifqi tersenyum, meyakinkan Abdul. "Terus kenapa kamu tidur disini? Ithikaf? Atau jangan-jangan gak punya uang buat nyewa penginapan?" tanya Abdul setengah mengejek. "Jawaban yang kedua tepatnya." Rifqi menjawab sembari tersenyum. "Oh kalo gitu, kamu mending tidur di kamar yang ada di samping mesjid aja. Kamar itu khusus buat DKM tapi kebetulan kosong. Mungkin itu hadiah dari Allah untukmu." Dengan sebuah anggukan, Rifqi pergi ke kamar tersebut diantar oleh Abdul. "Anggap aja kayak kamar sendiri." ucap Abdul sebelum pergi meninggalkan Rifqi di kamar tersebut. Rifqi tersenyum, ternyata dibalik kerasnya kehidupan Ibukota masih ada orang-orang baik. Rifqi merebahkan badannya di kasur busa kemudian melanjutkan tidurnya, terasa seperti sedang berada di pesantren.

Suara adzan shubuh menggema, memenuhi rongga telinganya. Rifqi terbangun dari tidurnya, apalagi ditambah ketukan di pintu kamar yang sedang ia tempati keras sekali. "Lah si Abdul ngetuk pintu keras banget. Lagian suara speaker mesjid udah keras, masa masih disangka belum bangun." kata Rifqi sedikit kesal. Namun sialnya malapetaka muncul ketika Rifqi membuka pintu. "Heh! Kamu siapa?!" Belum juga menjawab pertanyaan tadi, Rifqi sudah ditarik keluar kamar dan diseret sampai ke kantor DKM. "Jawab! Kamu siapa?" Teriak bapak itu, memecah keheningan shubuh. "Lah gimana mau saya jawab kalo bapak nyeret saya kayak tadi." jawab Rifqi santai. Masih dengan nada yang sama bapak itu kembali bertanya, "Kamu siapa? Kenapa bisa tiba-tiba ada di kamar itu?" Merasa tak terima seshubuh itu sudah dibentak orang asing, dengan nada tinggi Rifqi berkata, "Kalo mau tau, nanyanya santai aja kali!" Bapak itu mengambil posisi ancang-ancang, melayangkan tangannya di udara kemudian mengayunkannya tepat ke arah muka Rifqi. "Berhenti Pak!" seseorang berteriak dari kejauhan. Iya, orang itu adalah Abdul, setengah berlari dia menghampiri dua orang yang sedang bertikai. "Tenang Pak, dia temen saya. Saya yang ngasih izin buat tidur di kamar itu. Ceritanya lumayan panjang, nanti saya ceritakan." kata Abdul sembari mengatur napas. Bapak itu berlalu, masuk ke dalam mesjid sembari menahan amarahnya yang kian menggebu-gebu. "Maaf yaa, dia itu Pak Sholeh ketua DKM disini. Kalo ke orang asing, apalagi mencurigakan emang suka gitu. Katanya demi keamanan sih." Rifqi hanya diam dan menatapnya sinis. Abdul menoleh, "Eh maaf, maksud saya bukan gitu. Kan kamu belum memperkenalkan diri ke Pak Sholeh dan tiba-tiba ada di kamar itu jadi disangkanya mau berbuat jahat gitu." ucap Abdul dengan wajah yang terlihat panik. Rifqi masih terdiam kemudian perlahan tersenyum, membuat Abdul keheranan. "Santai aja kali, Dul. Iya gue ngerti kok." kata Rifqi. Suara iqomah membuat obrolan itu terhenti, Abdul segera masuk ke mesjid sedangkan Rifqi kembali ke kamar untuk bersiap-siap.

Matahari kian meninggi, cahayanya menusuk lewat celah diantara gedung-gedung yang menjulang tinggi. Rifqi keluar dari kamar, dia kembali menutup mata, menarik napas panjang mencoba menghirup udara pagi di Ibukota. Ketika membuka mata, Rifqi sedikit meloncat ke belakang karena kaget melihat Abdul dan Pak Sholeh sudah tepat berada di depannya. "Assalamualaikum." salam Pak Sholeh. "Waalaikumsalam. Mau nyeret saya ke kantor DKM lagi, Pak?" tanya Rifqi cuek. "Oh nggak, justru Bapak kesini mau minta maaf. Abdul sudah menceritakan semuanya. Mari sarapan bareng, anggap saja sebagai permintaan maaf Bapak." Karena merasa lapar tanpa berpikir panjang Rifqi setuju dan menerima ajakan itu. Ketiga orang itu keluar dari komplek mesjid kemudian berjalan kaki menuju komplek perumahan Pak Sholeh yang hanya terhalang dua gedung. Setelah memasuki komplek perumahan, mereka terus berjalan karena ternyata rumah Pak Sholeh tepat berada di ujung komplek. Setelah berjalan kaki cukup lama, akhirnya mereka sampai di rumah Pak Sholeh, sebuah rumah lantai dua berwarna cokelat kekuningan.

Singkat cerita, setelah menikmati sarapan bersama, Rifqi meminta izin untuk pergi ke lantai dua hanya untuk sekedar melihat Ibukota dari ketinggian yang tak seberapa. Dengan izin Pak Sholeh selaku pemilik rumah, berangkatlah Rifqi ke lantai dua dan ditemani oleh Abdul. Teras lantai dua cukup luas, dari sana bisa melihat bagian depan yang dipenuhi dengan rumah-rumah yang berjajar rapi, bahkan gedung-gedung yang menjulang tinggi pun bisa terlihat. "Bener-bener kota metropolitan yaa. Banyak gedungnya, mewah juga." ucap Rifqi takjub. "Pasti di Garut gak ada yang kayak gini yaa?" ejek Abdul disela-sela takjubnya Rifqi. Rifqi hanya terdiam kemudian menggelengkan kepalanya. "Itu sih belum seberapa. Kemari dan coba lihat ini!" suruh Abdul yang mengajak Rifqi melihat suasana Ibukota di sebelah kanan teras. Dari sana bisa terlihat pemukiman kumuh dan terdapat rumah-rumah kecil yang saling berhimpitan, bahkan jalannya pun lebih sempit daripada jalan gang yang ada di kampungnya. Rifqi hanya diam dan tak mengeluarkan sepatah kata pun. Matanya fokus melihat keadaan di seketar pemukiman kumuh itu. "Selamat datang di Ibukota, sebuah kota dengan kehidupan yang keras." kata Abdul sembari tersenyum melihat langit yang penuh dengan polusi. "Kadang saya benci Ibukota, yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. Tapi saya tidak bisa melakukan itu karena saya dibesarkan disini." sambung Abdul sambil menarik napas panjang. Rifqi masih saja terdiam, seakan-akan tidak memperdulikan perkataan Abdul. "Mari pulang, saya harus membersihkan mesjid." ajak Abdul. Lagi-lagi Rifqi tak berkata. Dia hanya mengangguk dan mengikuti Abdul dari belakang. Sampai di lantai bawah, Abdul dan Rifqi berpamitan kepada Pak Sholeh. "Abdul, nanti saya nyusul ke mesjid. Kamu pulang duluan saja berdua. Dan kamu Rifqi ini ada sedikit uang buat bekal kamu selama di Jakarta. Sekali lagi, maafkan Bapak." kata Pak Sholeh sambil menyerahkan amplop warna putih. "Iya Pak terimakasih. Semoga kebaikan Bapak dibalas oleh Allah." kata Rifqi sambil mengambil amplop dan berjalan keluar rumah bersama Abdul.

Ketika sudah lumayan jauh dari rumah Pak Sholeh, Rifqi membuka amplopnya dan terdapat dua lembar uang pecahan lima puluh ribuan. "Nih dul buat lo." kata Rifqi seraya menyerahkan satu lembar uang dari amplop. "Udah gapapa, buat kamu aja. Kamu lebih membutuhkan uang itu." kata Abdul sembari menepuk bahu Rifqi dan tersenyum. Mereka terus berjalan kaki menuju Mesjid Istiqlal, mesjid terbesar di asia tenggara. Dan sekali lagi, selamat datang di Ibukota, sebuah kota dengan kehidupan yang keras.

Mencari CaitlinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang