Untuk kesekian kalinya, tak ada kuasa manusia agar mampu menghentikan waktu, bahkan kadang terasa cepat berlalu. Kini matahari tepat berada di ujung langit, pukul dua belas siang. Mereka berdua duduk di sofa ruangan tengah lantai satu, kembali menonton televisi. "Lo mau balik jam berapa?" tanya Caitlin. "Kayaknya jam tiga sore." jawabnya sedikit ragu. "Kenapa nada bicara lo kayak yang berubah? Gue anterin kok, tenang aja." kata Caitlin seolah mengetahui keraguan Rifqi. Dia tak berkata, hanya mengangguk lalu tersenyum. "Maksud gue gak gitu, Cait. Gue gak mau balik, gue pengen terus sama lo. Tapi keadaan gak ngedukung." katanya dalam hati. Mereka berdua meneruskan menonton, saling terdiam.
"Cait, gue mau ke dapur dulu yaa. Mau bikin kopi." katanya tersenyum, lalu beranjak dan berjalan ke dapur. Sebelum benar-benar berada di dapur, dia melewati meja makan lalu mengambil sebuah kotak hitam miliknya. Seusai perkataan Rifqi tadi, Caitlin tak bersuara, hanya tersenyum dan sekarang memperhatikan Rifqi dari kejauah. Lagi-lagi dia tak membutuhkan waktu lama untuk menyajikan dua cangkir kopi, satu untuknya dan satu lagi untuk Caitlin. Dia sudah kembali dengan membawa sebuah nampan yang diatasnya terdapat dua cangkir kopi. Dia meletakkan nampan itu diatas meja ruangan tengah lantai satu. "Ini kopi yang sama kan? Kira-kira bakal seenak yang tadi pagi gak yaa?" candanya. "Lo gak bakal tau kalo lo gak nyobain." jawab Rifqi sigap. Mereka bersamaan mengambil cangkirnya masing-masing tapi Rifqi membiarkan Caitlin yang meminumnya terlebih dahulu. Seusai menyeruput kopinya, Caitlin terdiam. Mimik mukanya berubah seakan merasa ada yang aneh. Rifqi yang melihat kejadian itu cepat-cepat menyeruput kopinya, karena ia yakin yang merubah mimik muka Caitlin adalah kopinya. Rifqi terdiam, sesaat setelah menyeruput kopinya. Rasa kopinya hambar, hanya tersirat sedikit rasa pahit dan tingkat keasaman yang sangat rendah. Ternyata, dibutuhkan perasaan yang baik untuk menciptakan secangkir kopi yang dirasa sempurna.
Jarum jam terus berputar pada porosnya, perlahan mengikis waktunya di Jakarta. Rifqi sedang berada di kamarnya, mengemas barang-barangnya ke dalam carrier dan bersiap-siap karena sebentar lagi dia akan kembali ke Garut. Setelah semuanya selesai, sejenak ia duduk diatas kasur, terdiam untuk kesekian kalinya. Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk dan seseorang memanggil namanya, menghasilkan suara yang mengalun lembut memenuhi rongga telinga. Dia beranjak, berjalan menuju pintu lalu membukanya. "Udah siap? Berangkat sekarang kan?" tanya Caitlin ketika pintu dibukakan. Rifqi mengangguk sembari tersenyum lalu mengambil carrier-nya. Mereka berjalan berdampingan menuruni anak tangga sambil sedikit berbincang. "Yakin mau pulang sekarang?" tanya Tante Asmaini ketika mereka menuruni anak tangga terakhir dan memang sedari tadi memperhatikan mereka. "Mau gak mau harus pulang tante. Soalnya udah lumayan lama di Jakarta, takut orangtua khawatir." jawabnya. "Udah lumayan lama? Kok baru kesini kemarin?" tanya Tante Asmaini heran. "Ceritanya panjang. Kemarin sempet nyerita ke Caitlin, jadi biar dia aja yang nyeritain ulang ke tante. Bukannya gak mau, tapi takut ketinggalan kereta." jawabnya ramah. "Oh yaudah kalo gitu. Makasih yaa udah main kesini. Kalo nanti ke Jakarta lagi, jangan lupa main kesini. Salam buat orangtua kamu di Garut. Hati-hati di jalan yaa." kata Tante Asmaini sebelum mereka benar-benar berpamitan dan berjalan berdampingan keluar rumah.
Di halaman depan, mobil sudah terparkir dengan mesin yang menyala. "Pak, aku yang nyetir yaa. Udah bilang ke mama kok." kata Caitlin kepada sopirnya, seperti kemarin. Sementara itu, Rifqi sudah berada di samping pintu penumpang depan, membukakannya lebar-lebar. "Dari sisi yang lain, untuk Tuan Putri." katanya lantang. Sontak Caitlin langsung melihat ke arah Rifqi dan tersenyum sebelum berjalan memasuki mobil. Rifqi balas tersenyum lalu menutup pintu itu rapat-rapat ketika Caitlin sudah tepat berada di dalam mobil. Sebelum masuk ke mobil, ia terlebih dahulu membuka pintu belakang, melemparkan carriernya keatas jok mobil lalu menutupnya lagi. Setelah itu dia berjalan menuju pintu kemudi, membukanya perlahan lalu duduk di jol dengan tenang dan kembali menutup pintunya. Caitlin masih tersenyum, bahkan kedua matanya tertuju ke wajah Rifqi, membuatnya menjadi sedikit salah tingkah. "Gue punya cerita, suatu hari ada orang buta ketemu sama orang pincang. Terus orang buta itu ngegendong orang pincang dan mereka saling melengkapi." katanya mencoba mencairkan suasana. "Mau ngomong minta ditunjukin jalan aja harus nyerita dulu." ejeknya sambil tertawa dan tanpa disadari Caitlin memukul lembut bahu Rifqi, membuatnya makin salah tingkah. "Yaudah lo keluar dari komplek dulu aja nanti gue kasih tau." kata Caitlin. Rifqi menurut lalu mengeluarkan mobil dari halaman lalu berkendara dengan kecepatan rendah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mencari Caitlin
RomansTerinspirasi dari tulisan yang berjudul "Mencari Herman" karya Dee Lestari. Berisikan kisah tentang seorang remaja yang gila akan sebuah obsesi.