Sayup-sayup suara adzan maghrib menggema, memasuki rongga telinga di balik bisingnya suara kendaraan di jalanan ibukota. Rifqi masih di tempat yang sama dengan posisi yang sama. Tertunduk lesu di trotoar jalan. Perlahan ia menengadah, mencoba menikmati senja ibukota. Ia beranjak, mengikuti suara adzan dan menemukan sebuah mesjid untuk mendirikan sholat.
Seusai sholat langit gelap gulita, menghapuskan senja yang jingga merona. Ia diam mematung di halaman mesjid, menengadah mencoba mencari bintang yang paling terang. Namun sayangnya, malam itu benar-benar gelap, menutup gemerlap bintang di hamparan langit luas. Ia merasa kecewa dan perlahan menundukan kepala. Namun tanpa disengaja ia menatap kota, dengan gedung-gedung yang menjulang tinggi. Tiba-tiba ia tersentak, lalu perlahan tersenyum. Di sela-sela itu, sesuatu benda bergetar di dalam saku celananya. Dia merogoh saku celananya dan ternyata benda itu adalah smartphone milik Rendi. Setelah itu, senyumannya makin menjadi-jadi. Dia sesegera mungkin memesan ojek online dan duduk di bangku taman mesjid sambil menunggu. Selang beberapa menit, ojek online berhenti tepat di depannya. Ia langsung menaiki sepeda motor dan mengaspal menuju Coffee Smith bersama tukang ojek. Setelah berkendara sekitar dua puluh menit di jalanan yang lumayan macet, Rifqi sampai di Coffee Smith. Ia membayar ongkos kemudian berjalan masuk. Saat itu Coffee Smith sedang ramai pengunjung. Ia melihat sekeliling mencari Rendi. Ramainya pengunjung membuat ia kebingungan ditambah lagi di bar tidak ada Rendi. "Eh darimana aja lo?" tanya seseorang di belakang Rifqi. Dia terdiam, lalu perlahan membalikan badan. "Rendi!' teriak Rifqi memecah keramaian, membuatnya menjadi pusat perhatian. "Anjir malu-maluin lo. Liat tuh orang-orang pada ngeliatin." kata Rendi sambil menepuk dahinya. Rifqi tersenyum malu kemudian meminta maaf. Selepas kejadian memalukan itu, mereka duduk di kursi teras.
"Ren, maafin gue yaa tadi sore ngomong gak baik ke lo. Gak sepantesnya gue ngomong kayak gitu." kata Rifqi membuka pembicaraan. "Ah gapapa kali. Seenggaknya gue jadi nyadar, gue gak berhak ngatur kehidupan orang lain. Lo gak usah minta maaf," Rendi terdiam sejenak kemudian menarik napas panjang. "harusnya gue yang bilang makasih sama lo." sambung Rendi. "Kok gitu?" tanya Rifqi heran. "Banyak orang yang bilang kalo gue terlalu ikut campur sama urusan orang lain dan itu bikin gue ngedown. Padahal niat gue baik kan? Tapi semenjak kejadian tadi sore, gue jadi bener-bener sadar." jawab Rendi sambil menatap langit ibukota yang gelap gulita, lalu perlahan tersenyum. "Yaa bagus deh kalo hasilnya kayak gitu. Tapi jangan jadi segan buat nolong orang. Jujur aja, gue juga pengen ngucapin makasih karena lo udah berjuang ngebantu ngewujudin mimpi gue." kata Rifqi. "Iya sama-sama." jawab Rendi singkat. "Eh ngomong-ngomong, kenapa lo bisa balik lagi kesini?" tanya Rendi. "Oh iya nih hp lo." kata Rifqi sambil menyerahkan smartphone milik Rendi. "Untung aja ketinggalan, jadi gue bisa pesen ojek online buat balik kesini." sambung Rifqi. "Maksud gue alesan lo balik lagi kesini apa? Gue kira lo gak bakal balik lagi kesini. Soalnya tadi sore lo keliatan marah banget sama gue." jelas Rendi. "Oh itu. Jadi gini, abis sholat maghrib gue nyari bintang di langit. Tapi satu pun gak ada. Terus gak sengaja gue liat kota, eh cahayanya kayak bintang-bintang." jawab Rifqi. "Lah terus?" tanya Rendi tak mengerti. "Kadang gemerlap bintang tak nampak di tempatnya, di hamparan langit luas. Tapi kealfaannya bisa digantikan gemerlap cahaya dari kota. Yaa dari sana gue jadi sadar. Mungkin Tuhan ngirim gue kesini bukan buat ngewujudin mimpi. Tapi buat ketemu orang-orang baik yang mau ngebantu gue ngewujudin sebuah mimpi." jelas Rifqi. Mereka berdua terdiam lalu perlahan tersenyum bersamaan.
Dia pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mencari Caitlin
RomanceTerinspirasi dari tulisan yang berjudul "Mencari Herman" karya Dee Lestari. Berisikan kisah tentang seorang remaja yang gila akan sebuah obsesi.