Ia kembali ke rumah sementara di ibukota, Coffee Smith. Tak ada lagi waktu yang digunakan untuk bersedih dan melamun dengan tatapan mata kosong. Ia kembali bersedia berdiri dibalik bar dan mengolah biji-biji kopi menjadi secangkir minuman yang penuh dengan kenikmatan. Bahkan dia menjadi wajah baru di Coffee Smith dan terkenal dengan seduhan aeropress-nya.
Dua hari kemudian, sekembalinya dari Filosofi Kopi, Rifqi mengemas barang-barangnya dan berniat pulang ke kampung halaman, meninggalkan ibukota beserta mimpi yang belum terjadi. Mungkin tak akan pernah. "Ren, nanti sore gue pulang yaa. Makasih buat semuanya." kata Rifqi. "Yakin lo mau balik?" tanya Rendi. "Gue gak mungkin lama-lama disini, apalagi dengan ketidakpastian. Harusnya gue bisa mengenyampingkan ego, ngedengerin semua nasehat temen-temen gue di Garut. Yaa tapi gapapa sih, udah kelewat ini." jelas Rifqi sembari menatap langit-langit Coffee Smith. "Yaudah sebelum lo balik, ikut gue yuk!" ajak Rendi. "Tapi gue gak bisa lama-lama, jam empat sore udah harus ada di stasiun senen." kata Rifqi. "Lah sejak kapan lo jadi bawel kayak nyokap gue?" tanya Rendi sambil tertawa dan menatap Rifqi. "Berisik! Kalo lo banyak bacot kayak gini, keburu gue balik." jawab Rifqi sambil berjalan polos melewati Rendi dan tak memperdulikan tatapannya. Merasa diabaikan, Rendi berjalan mengikuti Rifqi dari belakang sembari mengumpat di dalam hati.
Mereka berdua sudah ada di parkiran, menaiki sepeda motor milik Rendi. Perlahan, sepeda motor itu mengaspal di jalanan ibukota, berdampingan dengan kendaraan-kendaraan yang lainnya. Setelah berkendara lumayan jauh dari Coffee Smith, sepeda motor itu menepi. "Kita turun dulu disini. Soal kepulangan lo kita bahas disini. Mending lo pikir lagi deh." kata Rendi sedikit terlihat serius. "Gue punya beberapa info yang mungkin lo butuhin buat mencari Caitlin." sambung Rendi. "Lah tadi kan gue udah bilang, gak mungkin gue lama-lama disini." kata Rifqi. "Tapi Qi, semua yang gue lakuin gak gagal kan? Buktinya kemarin lo ketemu sama Bang Chicco." bujuk Rendi. Beberapa saat Rifqi terdiam, mencoba memikirkan tawaran Rendi. Lumayan lama dari itu Rifqi kembali menaiki sepeda motor. "Lah ngapain naik motor lagi?" tanya Rendi kebingungan. "Yaudah ayo cari Caitlin." jawab Rifqi datar. Tanpa ada lagi percakapan, Rendi ikut menaiki sepeda motor dan mengendarainya dengan perlahan karena jalanan macet.
Setelah melewati padatnya jalanan ibukota, sepeda motor itu kembali menepi. Kali ini di depan sebuah sekolah menengah atas. "Menurut manajernya, si Caitlin sekolah di salah satu sekolah berstandar internasional di Jakarta Timur. Pas gue searching hasilnya ada enam. Nah jadi rencana gue, kita minta alamat rumahnya dari data siswa, pasti ada." jelas Rendi. Rifqi tak berbicara, ia hanya mengangguk-anggukan kepala pertanda mengerti dan setuju. Berjalanlah mereka ke kantor sekolah, melewati lorong yang memanjang dan sepi. Sesampainya di kantor, Rendi langsung mengutarakan keperluannya kepada petugas yang ada disana. Petugas itu pun mencari data siswa yang diminta. Selang beberapa saat, petugas itu berkata, "Mohon maaf, kami tidak punya data siswa atas nama Caitlin Halderman. Mungkin salah sekolah.". Karena di sekolah yang pertama nihil hasil, mereka melanjutkan pencarian ke sekolah lainnya. Tapi sial beribu sial, meskipun sudah mencari sampai ke sekolah yang keempat pun hasilnya tetap sama, tidak ada data siswa atas nama Caitlin Halderman. Namun yang lebih sial, mereka terjebak hujan dan pencarian terpaksa harus dihentikan. "Udahlah, gue mending pulang aja. Mungkin emang belum waktunya gue ketemu sama dia." kata Rifqi lalu ia menarik napas panjang. "Sekarang mending kita balik ke Coffee Smith. Mumpung masih ada waktu buat ke stasiun." sambung Rifqi. "Iya nanti kalo hujan udah reda." kata Rendi. Mereka menunggu hujan reda dan saling terdiam.
Setelah sekitar lima belas menit saling terdiam, hujan mulai reda. Mereka kembali menaiki sepeda motor dan berkendara dibalik rintik hujan. Rifqi yang tak tahu daerah ibukota hanya diam saja padalah Rendi tidak mengendarai sepeda motornya menuju Coffee Smith. Dan kini mereka sedang menuju sekolah kelima tanpa diketahui oleh Rifqi. "Nah kita udah sampe." kata Rendi sesaat setelah sepeda motor menepi. "Lah kok turun disini?" tanya Rifqi kebingungan. "Gimana pun caranya kita bakal ketemu Caitlin." jawab Rendi sembari berjalan memasuki gerbang sekolah. Dari luar, sekolah itu terlihat sangat luas berwarna putih bersih. Rifqi berjalan memasuki gerbang yang diatasnya terdapat plang sekolah. Dia bergegas menyusul Rendi yang sudah berada di kantor administrasi.
Sesampainya di kantor, dia melihat Rendi sedang menunggu di kursi dan seorang petugas yang sedang sibuk mencari data siswa. "Nah ketemu." kata petugas itu setelah lumayan lama mencari. Rifqi dan Rendi sesegera mungkin menghampiri meja petugas itu. Data siswa itu dilihat terlebih dahulu oleh petugas lalu berkata, "Oh mohon maaf sekali. Pihak sekolah tidak bisa memberikan data Caitlin karena sudah menjalani perjanjian privasi." Mereka berdua mematung, diam tak percaya. "Tolonglah bu, kami sangat perlu data siswa itu. Ini demi mimpi seseorang." bujuk Rendi. "Udahlah, pulang aja." pinta Rifqi. "Maaf sekali, tidak bisa." Terjadi sebuah negosiasi alot yang menguras banyak waktu. Namun sial, hasilnya tetap sama saja. Rifqi membalikan badan kemudian berjalan keluar ruangan. Tapi tindakan lain dilakukan Rendi. Setelah merasa gagal melakukan negosiasi, dia merebut data siswa kemudian berlari meninggalkan ruangan. "Ayo lari, Qi!" teriak Rendi. Rifqi yang kebingungan ikut berlari dibelakang Rendi. Dari kejauhan terdengar sayup-sayup suara teriakan petugas memanggil satpam. "Ayo cepetan bentar lagi kita keluar." teriak Rendi lebih kencang. Mereka terus berlari menuju pintu keluar di ujung lorong. Sebelum keluar, langkah mereka terpaksa harus berhenti karena satpam sudah lebih dulu berada di ujung lorong, menatap mereka dengan wajah sangarnya. Berniat memutar arah, di belakang mereka sudah ada satpam yang sama sangarnya. Mereka terkepung lalu terpaksa menyerahkan diri.
Mereka berdua dibawa ke kantor satpam sebelum dijemput oleh pihak kepolisian. Mereka dilaporkan atas dasar kasus pencurian. Miris memang. Setelah pihak kepolisian datang, mereka dibawa ke kantor polisi terdekat untuk dimintai keterangan.
"Apa tujuan kamu mencuri data siswa itu?" tanya seorang polisi kepada mereka setelah berada di kantor polisi. "Awalnya saya hanya meminta, tapi petugasnya gak mau ngasih." Rendi menghentikan pembicaraannya, menarik napas panjang kemudian meneruskan penjelasan. Pak polisi perlahan mengerti keadaan mereka berdua dan sedikit memberikan nasehat, "Oh iya saya ngerti. Tapi gak harus gitu juga caranya. Jadi jangan sampe terulang yaa. Data kalian udah ada di saya, kalo kalian mengulanginya bisa masuk penjara." Iya, polisi itu memberikan keringanan dan tak menahan mereka dibalik dinginnya jeruji besi. Mereka berdua berpamitan kemudian berjalan keluar kantor polisi.
Sementara Rendi menaiki sepeda motornya, Rifqi malah duduk diatas trotoar jalan. "Eh ayo naik motor." ajak Rendi. "Gak mau, lo pergi aja sendiri." tolak Rifqi. "Eh ayo balik, udah mau malem." bujuk Rendi. "Gue gak mau balik sama orang brengsek kayak lo. Berprilaku kriminal." kata Rifqi dengan nada datar. "Eh anjing jaga mulut lo yaa!" kata Rendi dengan nada yang meninggi. "Apa? Bukannya lo yaa yang anjing? Sok ngurus hidup orang. Seharusnya tadi gue pulang aja ke Garut daripada ikut sama lo ngelakuin hal gila yang malah bikin gue jadi kriminal. Dasar anjing lo!" umpat Rifqi. Rendi yang merasa tak terima meraih kerah baju Rifqi dan menariknya. "Harusnya lo mikir selama disini dimana lo tinggal. Gila lo yaa." kata Rendi. "Berisik lo ah!" kata Rifqi sembari mendorong badan Rendi. Rendi sesegera mungkin menaiki lagi sepeda motornya kemudian meninggalkan Rifqi di keramaian ibukota seorang diri.
Kini mereka terpisahkan, Rendi kembali ke Coffee Smith sedangkan Rifqi hanya tertunduk lesu di trotoar jalan bersama bisingnya suara kendaraan. Tak ada kuasa manusia untuk menghentikan waktu, matahari berlalu menuju barat. Menggoreskan kilauan jingga merona di langit ibukota yang telah hilang kesegarannya. Menjadi saksi bisu di setiap peristiwa sore.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mencari Caitlin
RomanceTerinspirasi dari tulisan yang berjudul "Mencari Herman" karya Dee Lestari. Berisikan kisah tentang seorang remaja yang gila akan sebuah obsesi.