Beberapa hari setelah kabar kepergian Caitlin ke singapura, Rifqi masih menumpang di Coffee Smith.
Hari itu sudah memasuki tahun dua ribu delapan belas dan hanya dihiasi tatapan-tatapan kosong. Disela-sela waktunya Rifqi terus memikirkan Caitlin. Sampai hari itu pun belum ada kabar tentang kepulangan Caitlin dan tak mungkin juga ia menunggu lebih lama karena orangtuanya pasti sangat khawatir. Setelah seminggu hidup di ibukota dengan sebuah mimpi yang belum terjadi, Rifqi berniat kembali ke Garut, kota kelahirannya."Hari ini gue izin gak nyeduh yaa. Lagi pengen diem." pinta Rifqi kepada Rendi dan langsung disetujui. Bukan tanpa alasan, Rendi merasa itu merupakan salah satu hal terbaik untuk Rifqi, mengingat senyumannya menghilang dan wajah yang biasanya sumringah menjadi tak bergairah.
Hari semakin sore, pengunjung silih berganti memesan kopi. Bar terlihat sibuk, semua barista berusaha membuat kopi terbaiknya kecuali Rifqi yang hanya duduk manis di teras Coffee Smith. Desiran angin sore mengantarkannya memasuki dunia khayalan dibalik lamunan. Ia menutup mata, menarik napas panjang kemudian perlahan menghembuskannya. Tak lama dari itu, seseorang menepuk pundaknya dari belakang, membuat dia terkejut dan kembali ke dunia nyata. "Ikut gue yuk!" ajak Rendi. "Males ah." jawab Rifqi tanpa bertanya akan kemana. "Udah lo ikut aja, pasti seru deh." kata Rendi meyakinkan. Tanpa berkata apapun Rifqi berdiri kemudian mengikuti Rendi dari belakang dan menaiki sepeda motor. Sepeda motor milik Rendi mengaspal, membelah ramainya jalanan ibukota. Setelah sekitar tiga puluh menit melakukan perjalanan, sepeda motor itu terparkir di depan sebuah coffee shop. "Gue yakin, selain pengen ketemu Caitlin lo juga pasti pengen kesini kan?" kata Rendi sembari melepaskan helm. Rifqi terdiam beberapa saat, kemudian mengembangkan senyuman dan berlari masuk ke dalam. Coffee shop itu bernama Filosofi Kopi. Rendi berhasil, kini Rifqi kembali bisa tersenyum, sejenak melupakan kepergian Caitlin ke singapura. Rifqi berdiri di depan bar, tepat di seberang Chicco Jerikho. "Chicco Jerikho alias Bang Ben! Akhirnya gue bisa ketemu langsung sama lo. Kenalin nama gue Rifqi." kata Rifqi sembari mengajaknya bersalaman. Chicco yang kebingungan tak berkata apapun, ia hanya tersenyum dan bersalaman dengan Rifqi. Rendi yang sedari tadi melihat kejadian tersebut tersenyum di belakang Rifqi kemudian melambaikan tangan kepada Chicco. "Halo Bang! Udah lama yaa gak ketemu. Nih gue sekalian bawa tamu dari Garut." kata Rendi sambil tersenyum. "Eh Rendi! Apa kabar lo? Mentang-mentang punya temen baru jadi gak main kesini yaa." ejek Chicco.
Chicco langsung keluar dari balik bar kemudian mengajak duduk Rifqi dan Rendi di salah satu meja kosong. Mereka bertiga mengobrol dengan asyiknya. Chicco yang tak bisa berlama-lama kembali ke balik bar dan menyeduh kopi lagi. Setelah selesai, Chicco menghampiri Rifqi dan Rendi dengan membawa dua gelas kopi. "Perfecto pake syphon, spesial buat orang jauh." katanya sambil tertawa.
Secangkir perfecto belum bisa membuatnya puas. Rifqi meminta secangkir kopi lagi, tapi Chicco mempersilahkannya untuk membuat kopi sendiri. Rifqi terlihat sangat bersemangat dan dengan sigapnya berjalan ke balik bar. Diambilnya kopi tiwus dan menyeduhnya menggunakan aeropress.
Sedikit bercerita, Chicco Jerikho adalah seorang aktor indonesia dan merupakan salah satu idola Rifqi. Rifqi mulai mengidolakannya ketika dia membintangi film Filosofi Kopi yang sekarang menjadi nama salah satu coffee shop ternama di ibukota. Ternyata, selain Caitlin masih ada hal yang mampu membuat Rifqi kembali tersenyum. Kini, ia perlahan menerima kegagalannya. Tak ada lagi tatapan kosong, lamunan atau apapun itu yang membuatnya sedih.

KAMU SEDANG MEMBACA
Mencari Caitlin
RomanceTerinspirasi dari tulisan yang berjudul "Mencari Herman" karya Dee Lestari. Berisikan kisah tentang seorang remaja yang gila akan sebuah obsesi.