Bab 4

4.3K 298 0
                                    

Juna melingkarkan tangannya di pinggang Leya, mendekatkan tubuh mungil itu ke tubuhnya hingga tidak ada jarak lagi yang tersisa diantara mereka.
Bibirnya sibuk melumat bibir Leya, menyesap rasa manis yang sangat dirindukannya itu.

Seberkas sinar dari tirai jendela yang tersingkap membuat suasana terasa sangat panas. Juna menggendong Leya sambil tetap menciuminya seolah ia akan mati jika bibirnya tidak bersentuhan dengan kulit wanita itu.

Dengan sangat perlahan ia merebahkan tubuh Leya, menindihnya, mulai membuka kancing-kancing pengganggu yang menghalanginya untuk mengecupi bagian tubuh wanita itu.

"owhh Ju...na". erang Leya saat Juna mulai menjilati bagian puncak payudaranya. Leya menggapai ujung sweeter Juna, menariknya keatas dan melepaskannya melewati kepala.

Sentuhan kulit Juna yang sudah polos membuat seluruh tubuh Leya terbakar. Ternyata ia sangat merindukan pria itu, ia sangat merindukannya hingga terasa menyakitkan. Leya butuh di puaskan, dan hanya Juna yang bisa melakukannya!

"Leya... katakanlah kalau ini yang kau inginkan". bisik Juna dengan suara parau.

"Ya aku menginginkannya".

Juna menyelipkan sebelah tangannya di antara paha Leya. Leya menjerit, ia bahkan sudah meracau tidak jelas sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Kau sangat merindukanku ya ? Apa kau ingin kita melakukan yang lebih jauh lagi ?" bisik Juna lagi dengan suara menggoda.

Leya mengangguk keras. Persetan dengan logikanya yang menyuruhnya berhenti, apapun yang terjadi setelah ini Leya akan menanggungnya sendiri.

"eugh Leya..." erang Juna mulai menggerakkan bagian tubuh bawahnya. "Kau tidak tau betapa aku sangat merindukanmu".

Leya tidak sanggup membalas kata-kata itu karena yang keluar dari mulutnya hanya erangan dan tubuh yang bergetar menuntut untuk dipuaskan!

***

Jemma menutup pintu dengan perlahan, berusaha tidak menimbulkan suara. Ia menautkan kedua tangannya yang bergetar, mencoba menghalau air mata yang mendesak ingin keluar.
Jemma menggeleng, berusaha mengembalikan lagi kesadarannya yang sempat kacau setelah memahami apa yang baru saja di lihatnya.

"Kenapa diam saja disitu ? Juna tidak ada di kamar ?" Kurt Walters menghampiri Jemma yang mematung.

"Sebaiknya kita pergi sekarang".

Kurt menaikkan sebelah alisnya menatap perubahan ekspresi Jemma. "Kenapa ? Kita harus memberitahunya soal rencana paman dan bibi untuk kalian ber..." Kurt tidak melanjutkan kata-katanya saat gendang telinganya menangkap suara erangan yang berasal dari balik pintu.

"Kita bisa memberitahunya nanti". pelan Jemma sambil berusaha menyunggingkan senyum kecil. "Kita pulang sekarang, ini sudah larut". lanjutnya menggenggam tangan Kurt yang terkepal disisi tubuhnya.

"Sampai kapan kau ingin menyakiti dirimu sendiri huh ?"

"Kurt... kumohon". katanya pelan sambil melirik pintu kamar Juna, berharap suara Kurt tidak terdengar hingga membuat 'aktivitas' didalam sana terganggu. "Aku tidak apa-apa, oke ? bisa kita pulang sekarang ?"

Kurt menatapnya tajam dan dalam, sebelum menghembuskan nafas keras. "Kau harus tau Jemma, walaupun dia sepupuku, aku tidak akan memaafkannya kalau sampai dia menyakitimu"

"Aku tau". Jemma mendongak menatap pria tinggi yang saat ini memasang wajah menyeramkan itu. "Bawa aku pergi dari sini Kurt".

Kurt masih menatapnya, namun tatapan pria itu melembut, ia menarik nafas panjang sebelum menghembuskannya kasar. "Baiklah aku menyerah. Kita pergi sekarang dan aku akan memastikan moodmu akan kembali baik esok hari".

FatedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang