Bab 9

3.2K 279 0
                                    

Juna merasakan jantungnya di remas dengan begitu kuat. Ia seperti berjalan di atas duri beracun yang siap membunuhnya kapan saja. Mimpi buruk Leya juga kebobrokan hidupnya selama ini bersumber dari sikap pengecutnya sendiri. Dan ia merasa menjadi orang paling tolol karena baru menyadarinya sekarang.

Juna memejamkan matanya, mencoba bernafas lebih teratur untuk menjaga tubuhnya tetap berdiri. Perlahan dan sangat pelan mengulurkan tangannya namun ia berhenti sebelum mencapai puncak kepala Leya yang tertunduk. Rasa frustasi menjalari hatinya.

"Aku... Hampir menjadi seorang ayah." lirihnya dengan suara parau. "Dan aku sudah mengacaukan semuanya."

Leya menggeleng keras. Terisak dalam diam hingga membuat tenggorokannya tercekat dan tidak mampu mengatakan apapun lagi.

"Aku mencoba mendekatimu lagi tanpa  mengetahui apapun." Juna mengambil satu langkah mendekati Leya. "Aku bahkan selalu berfikir bahwa semuanya baik-baik saja. Asal kita selalu bersama dan saling mencintai. Tapi aku salah... Maafkan aku."

Leya masih membisu bahkan saat Juna mendaratkan ciuman di bibirnya, ia bisa merasakan debar jantung pria itu yang tidak lebih normal dari debar jantungnya sendiri. Pun setetes air mata Juna yang jatuh di pipinya. Leya memilih tidak memberikan reaksi apapun selain menutup matanya yang basah dan membalas ciumannya.

***

1 bulan kemudian˜

Salju turun lagi. Leya mendongak menatap langit yang mulai gelap. Terlalu banyak yang ia pikirkan akhir-akhir ini, mungkin itu juga yang menjadi alasannya tiba-tiba datang kesini.

Sebuah bangku kayu yang menghadap ke sungai East itu masih kosong. Ya karena sebagian orang mungkin lebih memilih berdiam diri dirumah daripada duduk di bawah hujan salju seperti ini.

Semuanya di mulai disini. Kisahnya dengan Juna yang seharusnya sudah di simpan rapat 8 tahun lalu kembali terjalin di sini. Leya tidak menyesal ataupun bersyukur dengan semua hal yang menimpanya, baginya ini adalah hadiah dari Tuhan dan ia cukup beruntung karena Tuhan masih memperhatikannya.

Henry dan Terence akan selalu menjadi orang yang penting bagi Leya. Tanpa mereka tidak akan ada Leya yang seperti saat ini. Leya yang berjuang untuk menjadi ibu sekaligus sahabat yang baik untuk dua orang yang ia kasihi.

Dan untuk Juna. Leya masih tidak bisa mendeskripsikan perasaannya pada pria itu. Pria yang selalu berhasil membuatnya kembali berharap dan bermimpi. Pria yang membuatnya tertawa lepas kemudian menangis. Pria yang hanya memikirkan namanya saja bisa membuat jantung Leya berdetak tidak karuan. Pria itu, pria yang akan selalu menempati ruang special di dalam hatinya.

Leya sudah tidak pernah bertemu Juna sejak kepulangannya dari Colorado. Pria itu seperti menghilang, menenggelamkan diri ke dalam pekerjaan yang tidak ada habisnya. Kau merindukannya ? Leya menggeleng. Ia bahkan terlalu malu untuk mengakui bahwa ia merindukannya.

"Kuharap aku tidak kenal wanita bodoh yang duduk sendiri di tengah hujan salju seperti ini."

Leya menoleh mendapati Henry yang mendekat ke tempatnya duduk. "Baru pulang kerja ?"

Henry mengangguk sebelum duduk di samping Leya, menatap lurus ke depan, ke sungai east. "Bagaimana kabar Terence ?"

"Baik. Dia tidak pernah membolos dan selalu menghabiskan susunya."

"Dia bahagia tinggal bersamamu."

"Dia juga bahagia tinggal bersamamu."

FatedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang