Bab 14

2.9K 236 5
                                    

"kau sudah melakukannya dengan baik?"

Leya menoleh mendapati Sohee yang bersandar di dinding dekat pintu kamarnya.

Tersenyum kecil. "gaun ini masih bisa kupakai," ucapnya menunjukkan gaun plum yang diletakkan di atas ranjang.

"yeah tidak terlalu buruk untuk dipakai di pesta pernikahan mantan suami."

Selama tinggal bersama, baik Sohee maupun Leya tidak pernah menutupi apapun yang terjadi di hidup mereka. Itu juga alasannya, Leya langsung menumpahkan kegelisahannya saat menerima undangan pernikahan Juna yang ia dapatkan dari kenalannya di kantor Sean.

"kami bahkan belum pernah bercerai," gumamnya sedih. "gadis itu lebih membutuhkan Juna daripada aku."

"dan itu adalah kata-kata paling bodoh yang pernah kudengar," Sohee melipat tangannya di depan dada.

"Aku tidak akan merubah keputusanku."

"Aku juga tidak akan lupa betapa menyedihkannya kau sekarang!" Sohee menghentakkan kakinya tidak sabar. "kau tau betapa aku membenci pria itu!"

"dia tidak salah."

"teruslah membelanya Leya," Sohee tidak menutup-nutupi kekesalannya.

Leya menyunggingkan senyum getir. "Aku sama sekali tidak membelanya. Aku hanya sedang berusaha menahan diriku sendiri untuk tidak langsung menemui wanita itu dan memohon untuk melepaskan Juna."

Sohee memilih diam, membiarkan Leya larut dalam pergolakan hatinya. Tidak ada yg bisa di lakukannya selain membiarkan Leya menangis dalam diamnya.

***

"kau akan menghabiskan seharian ini di toko?"

Jemma tersenyum kecil sebelum menjawab pertanyaan ibu Juna melalui telepon. "aku akan tutup jam 3 sore. Hari ini cukup ramai, sayang sekali kalau toko tidak buka," berbalik untuk menatap dirinya sendiri dicermin. "bibi tidak perlu khawatir."

"Urusanku di Berlin sudah selesai. Aku akan kembali 2hari lagi bersama ayah Juna," jeda sesaat sebelum suara lembut itu melanjutkan. "aku selalu berharap anak-anakku memiliki akhir yang baik."

Jemma tidak menemukan suaranya untuk menjawab, perasaannya sedang kacau dan ia tidak tau harus menanggapi apa kata-kata penuh harap dari wanita yang dihormatinya itu. Suara bel di pintu masuk toko membuatnya buru-buru menghapus air mata yang sempat mengalir. "bibi, aku harus pergi, ada pelanggan yang datang."

"baiklah, jaga dirimu sayang."

Sambungan telepon terputus, Jemma meletakkan ponselnya di meja sebelum bergegas ke bagian depan toko.

Tampak seorang pria yang sangat tampan sedang menelpon sambil melihat-lihat bunga yang tersebar di dalam toko.

Setelah menunggu sampai pria itu memutus sambungan teleponnya, Jemma menyapa lembut. "telepon dari kekasih?" Bukan untuk mencampuri urusan orang lain, ia hanya ingin bersikap lebih akrab pada siapapun.

Pria itu menoleh setelah menatap ponselnya sendiri dengan alis berkerut. "Ya." jawabnya singkat.

"bagaimana dengan tulip merah."

"Apa?" tanya pria yang masih mempertahankan kerutan di dahinya. "maksudku aku sudah pernah memberikannya tulip merah."

"benar juga, tulip merah adalah pilihan pertama saat seseorang ingin menunjukkan perasaan cinta," gumam Jemma yang sepertinya tidak di dengar pria itu. Ia menarik setangkai mawar putih dari keranjang yang paling dekat dengannya. "Lalu mawar?"

Pria itu menatap mawar yang di pegang Jemma dengan ekspresi sedih yang tidak di tutup-tutupi. "aku pilih mawar merah saja," katanya menunjuk keranjang lain berisi mawar merah.

FatedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang