"Tidak berniat pulang ?" Jemma Collins menatap sayu kearah Juna yang duduk di belakang meja kerjanya.
"Akan ku fikirkan".
Jemma tersenyum. "sebelumnya kau tidak pernah sekalipun berfikir dan langsung menolaknya. Lalu ada apa sekarang ?"
"Ada hal yang harus ku bicarakan dengan orang tuaku".
Mendadak Jemma merasa tegang, namun ia berusaha bersikap santai. "Kau tidak perlu memikirkan tentang rencana mereka yang ingin menikahkan kita. Kita sudah bersahabat sejak kecil, aku tidak akan siap melihatmu diatas ranjangku setiap hari". katanya tertawa kecil. "Kejadian itu sudah lama Jun. aku tidak ingin kau merasa terbebani karena aku".
"Jemma..." suara Juna melembut. "Kau adalah tanggung jawabku! Tidak akan berubah sampai kapanpun!".
"Aku tau". Jemma membalas tatapan lembut Juna.
Juna membuang nafas lega. Ia tersenyum. "Jadi sekarang apa yang ingin kau makan ? sudah waktunya makan malam".
Jemma balas tersenyum lebar. "Itu alasan utamaku datang kesini". ia berdiri, menghampiri Juna sambil menarik tangannya. "Aku sudah memasak makanan special untukmu di rumah. Sebaiknya kita pulang sekarang".
"Tapi aku masih banyak pekerjaan". Juna tak bergeming dari duduknya.
Jemma memberengut, namun cengkramannya di pergelangan tangan Juna semakin kuat.
"Baiklah aku menyerah". Juna berdiri dari duduknya, memakai jasnya, kemudian menggenggam tangan Jemma. "Aku sudah mempersiapkan obat sakit perut. Terakhir aku makan masakanmu, kau membuatku tidak keluar dari toilet selama 3jam".
Jemma tertawa. "Waktu itu aku masih dalam tahap belajar, kali ini sangat berbeda". katanya sambil menggeret Juna ke arah pintu.
"Kuharap begitu". sahutnya yang pasrah di hela Jemma keluar dari ruang kerjanya.
***
Hari ini adalah hari yang panjang untuk Leya. Dimulai dengan rapat penting untuk finishing proyek iklan yang melibatkannya, siangnya ia mengajar seni lukis hingga sore, dan setelah itu ia masih harus menyelesaikan lukisan yang dipesan untuk menjadi sampul sebuah buku sejarah.
Sebenarnya Leya tidak benar-benar sibuk, ia hanya merasa perlu membuat dirinya sendiri sibuk. Karena dengan begitu ia tidak akan memikirkan hal-hal tidak penting, yang mungkin bisa menjerumuskannya ke dalam mimpi buruk.
Semuanya karena Juna! oh bagus Leya, sekarang kau mulai menjadikannya sebagai alasan, lalu besok apa lagi ? Lupakan pria itu! jeritnya dalam hati.
Leya memilih jalan kaki dari stasiun subway menuju apartemennya, lumayan jauh memang tapi ia harus menghemat biaya.
Sebuah mobil berhenti di tepi jalan, tepat di samping Leya. Agak bingung ia menunduk melihat si pengendara yang mulai menurunkan kaca mobilnya.
Ya Tuhan...
"Apa kau selalu pulang selarut ini ?" Juna mencondongkan tubuhnya kearah jendela mobil.
"Ti-tidak". Leya agak tergagap. "Maksudku apa yang kau lakukan disini ? Kau menguntitku ?!"
Juna menyipitkan matanya. "Kau selalu berfikiran negatif. Aku hanya kebetulan lewat".
"owh". gumam Leya tidak jelas, ia agak salah tingkah.
"Mau minum kopi bersama ? kebetulan aku sedang dalam perjalan ke cafe langganan disekitar sini".
"Sepertinya tidak ada cafe yang menjual kopi Hammerhead di sekitar sini". Leya menggigit bibirnya, sadar dengan tatapan dan senyum Juna yang penuh arti. "Tidak! maksudku ini sudah larut".
KAMU SEDANG MEMBACA
Fated
Romance[END] [18+] Satu hal yang Leya inginkan saat ini adalah hidup normal dan tenang! Tapi saat mata gelap itu menatapnya, mulai mengaburkan segala hal yang Leya percayai dan kembali menawarkan impian semu yang mustahil. Detik itu juga hari-hari tenang L...