10. Tawuran

9K 474 95
                                    

Selamat Membaca! sebelum itu, yuk pijit bintangnya dulu yang sebelah pojok kiri bawah. Udah belum??

Mentari mulai bersinar di Upuk Timur, menembus sela-sela jendela kamar Jonatan yang masih terlelap di bawah naungan selimut. Padalah hari ini masih hari Kamis, belum waktunya libur sekolah.

Tidurnya terganggu saat ia merasakan guncangan di tubuhnya dan teriakan nyaring adiknya.

“Bang Jo, bangun! Sekolah!”

Jonatan mengerang tidak mau diganggu. “Apaan sih, Dek, masih pagi juga!” Jonatan menarik kembali selimut.

“Mom! Bang Jo enggak mau bangun tuh!” Shinta berteriak membuat Jonatan menarik bantal yang sedang diduduki Shinta, lalu menempelkan bantal itu ke telinganya. Refleks Shinta langsung menangis karena kaget ulah Jonatan.

“Huaaaa! Mommy! Abang Jo, jahat!”
Dari luar kamar, Marissa berlari sambil membawa centong nasi di tangan kirinya, dan tudung nasi di tangan kanannya. “Kenapa?  Ya ampun, Jo, kamu apain Inta?” Marissa menggendong Shinta dan menatap horor anak sulungnya.

Jonatan bangkit ketika mendengar suara Mommynya, ia menatap adiknya heran. “Inta kenapa, Mom?” tanyanya.

“Kenapa, kenapa, yang ada Mommy yang tanya, kenapa Inta nangis, Jonatan?” Marissa memanggil namanya dengan lengkap. Itu artinya sang Mommy sedang marah.

“Jo?” ujar Jonatan menunjuk dirinya sendiri, “Jo tadi narik bantal yang didudukin Inta, habisnya ... Inta berisik sih.”

“Ya ampun, nih anak, kamu ini anak siapa sih, ha? Enggak bisa diatur banget, udah tau kebiasaan Inta kalo duduk di kasur suka pakai bantal. Lah, kamu malah narik bantalnya, ya Shinta kagetlah!”

Marissa heran dengan anak sulungnya ini, kenapa ia suka lemot jika berada di rumah.  Tetapi, anehnya jika di sekolah otaknya selalu encer.

Jonatan malah cengengesan. “Maaf Jo lupa. Udah ah, Jo mau mandi.”

Baru saja Jonatan ingin menaiki motor, HP-nya berbunyi. Bayu mengirimkan pesan bahwa sekolah diserang oleh SMA Merah Putih, jelas Jonatan segera bergegas mengendarai motornya secepat mungkin agar segera sampai di sekolah.

Benar saja, sekolahnya kacau, banyak siswa yang saling serang di depan gerbang. Setelah mengamankan motor di warung tempat nongkrong, ia segera turun dari motor dan langsung ikut menyerang siswa SMA Merah putih. Jonatan menghampiri Firman yang sedang menghadapi tiga orang.

“Men, anak-anak lain udah diamanin, ‘kan?” tanyanya sembari menangkis lawan yang ingin memukul wajahnya.

“Udah, Aldi tadi ngamanin anak-anak ke aula atas,” sahut Firman sembari menahan kedua tangan anak SMA Merah Putih dan membantingnya hingga.

“Oke.”

“Eh, Jo, itu Clarisa, ‘kan?” tanya Firman melihat Clarisa yang sedang duduk berusaha membangunkan motornya.

“Mana?” tanya Jonatan mengikuti arah pandang Firman.

“Itu di pinggir trotoar, lo liat dong,” ucap Firman kesal lalu mendorong lawannya hingga terjatuh.

“Oh iya, gue ke sana dulu, lo selesain ini!”
Jonatan berlari melewati siswa yang saling menyerang melempari bebatuan, kayu dan sebagainya. Sesampainya di depan Clarisa,  Jonatan langsung membantu Clarisa bangun dan motornya.

“Ca, lo enggak apa-apa?”

“Enggak apa-apa, terima kasih, gue mau masuk.” Clarisa mengibas-ngibaskan roknya yang sedikit kotor.

“Masuk ke mana? Lo mau cari mati?” Jonatan melirik ke kanan dan ke kiri takut ada yang menyerang tiba-tiba.

“Terus gue ke mana?” tanya Clarisa dengan nada seperti biasa, dingin.

“Nih anak masih aja dingin, sekarang lo ikut gue!” Jonatan menarik paksa tangan Clarisa.

Jonatan membuka Jaket yang ia kenakan, melebarkan jaketnya untuk melindungi kepalanya dan kepala Clarisa. “Lari!” titahnya.

Jonatan melihat Clarisa yang malah mematung kebingungan. “Lari, Ica, kita bakal nerobos orang-orang itu.” Ia menunjuk para siswa yang sedang bertarung.

“Motor gue gimana?” tanya Clarisa polos.

“Ah elah, malah mentingin motor nih anak, lo mau selamat apa enggak?” sewot Jonatan kesal.

Jonatan membawa paksa Clarisa lari menerobos puluhan orang yang sedang saling menyerang hingga sampailah mereka di warung belakang sekolah tempat Jonatan berkumpul.

“Duduk, Ca,” titah Jonatan.

Clarisa hanya menurut, ia masih syok dengan perlakuan Jonatan tadi. Bayangkan saja, dua orang menerobos puluhan orang yang sedang saling menyerang. Dan anehnya Clarisa merasa aman ketika berlari bersama Jonatan. Laki-laki itu sedikit berteriak entah pada siapa, tetapi Clarisa sok tahu mungkin Jontan berteriak pada penjaga warung.

“Bi Ina, teh hangatnya satu, ya.” Jonatan memesan teh hangat pada penjaga warung tersebut.

“Siap, Tong,” sahut penjaga warung.

“Ini teh hangatnya, Tong.” Bi Ina menyimpan teh di depan Clarisa.

“Diminum dulu, Ca, tehnya, lo masih syok?” Jonatan melihat Clarisa yang hanya diam.

“I-iya Jo, terima kasih,” ucap Clarisa terbata.

“Jo, maneh mawa awewe saha eta teh? Kabogohna ogeh?” tanya Bi Ina dengan nada lentong Sundanya.

“Apaan, si Bibi sok tau.” Jonatan senyam-senyum sendiri ketika mendengar ucapan Bi Ina penjaga warung.

“Gimana? Udah mendingan? Lo baru kali ini liat orang tawuran?” tanya Jonatan.

“Iya,” jawab Clarisa dingin.

Jonatan menghela napas. “Irit benar sih ngomongnya,” gerutunya.

Suara notifikasi Line terdengar dari ponsel Jonatan, sang pemilik segera membuka dan membaca baik-baik isi pesan tersebut.

Ada chat dari Ihsan, menanyakan keadaannya dan memberi kabar kalau situasi sudah aman. Jonatan memberi kabar kalau ia baik-baik saja dan sedang di warung Bi Ina.

Jonatan kembali memasukkan ponselnya ke saku celana, ekor matanya kembali menatap Clarisa yang sedang meniupi teh hangat. Ia sedikit lega karena Clarisa sudah mulai terlihat tenang.

“Ca, situasi udah aman. Ayo kita balik ke sekolah,” Clarisa hanya menangguk, menyeruput teh hangat untuk yang terakhir kalinya.

“Bi, ini uangnya. Jo balik ke sekolah dulu, ya,” pamit Jonatan sembari menaruh uang di bawah gelas.

Banyak tanda baca yang kurang benener.. kasih sarannya lagi ya kawan.. makasih jangan lupa tinggalkan Jejak 😘😘

#Revisi 31-12-18/08-02-21

Ice Girl Is My Wife #1 [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang