Part 15

2.6K 114 0
                                    


40 hari sudah Husein disemayamkan. Haru masih tertinggal nyata, sekalipun sudah tak terdengar tangis. Mirna telah ceria kembali, di sini ia lah yang paling tegar, ia sadar ayahnya telah meninggal, dan itu takdir, hidup mati seseorang telah digariskan. Anak sekecil itu sudah paham dan tidak menyalahkan keadaan.

Riri memutuskan untuk kembali bekerja, namun bukan di Wijaya's Company lagi, melainkan mencari pekerjaan baru di Bandung sambil menemani mertua dan anaknya. Dengan adanya Riri di rumah Bandung, membuat Alfath semakin jarang pulang. Ia sadar Riri bukanlah muhrimnya, tidak baik yang bukan muhrim tinggal serumah. Hal itu membuat bundanya punya ide.

"Nak apa kamu ingin menikah lagi?" tanya bunda Ami to the point.

"Apaan sih bunda, masa iddah ku saja belum selesai, sudah bahas yang begituan. Insyaallah kalau Allah menghendaki cukup mas Husein suami saya bun,"

"Jangan begitu nak, kamu masih muda, masa depanmu masih panjang."

"Kita tidak tahu kapan umur kita selesai bunda, lagi pula ada Mirna dan Bunda juga... Al"

"Nah bicara soal Alfath, kalau masa iddah kamu sudah selesai maukan kamu menikah dengannya?"

Riri tersentak.
"Tidak bunda, aku tidak ingin menyakiti hati mas Husein dengan menikahi adiknya. Maaf"

"Husein pasti akan menerimanya, jika ini yang terbaik. Kamu tau bunda sangat menyayangimu, bunda tidak ingin kamu menikahi orang lain san berpisah dengan bunda dan Mirna."

"Tidak bunda, itu tidak akan terjadi. Aku tidak akan menikah lagi, aku akan tetap bersama bunda."

"Maaf nak bunda fikir ini cara terbaik, supaya Alfath juga rajin pulang ke rumah. Anak bunda hanya tinggal dia."

Mata Riri berkaca-kaca. Sebenarnya ia tak tega menghalangi seorang ibu bertemu anaknya.
"Aku akan pindah bun, biar Alfath tidak sungkan lagi."

Mendengar itu, bunda Ami malah menangis.
"Teganya kamu nak mau pindah, lalu bunda tinggal dengan siapa?"

"Biar Alfath tinggal di rumah bunda, nanti aku akan sering berkunjung, tapi tidak menginap."

"Alfath tidak akan mau meninggalkan pekerjaannya. Kamu tega sama bunda."

"Bukan begitu bunda.."

Bunda Ami semakin dalam menangisnya, sampai sesenggukan. Membuat Riri jadi tidak tega.

"I.. Iya bunda akan ku pikirkan lagi."
Mendengar itu menjadi angin segar untuk bunda Ami.

"Aku juga akan membicarakannya dengan Alfath."

"Jangan.. Jangan dulu bunda, nanti setelah masa iddahku selesai dulu."

"Baiklah."

Mereka akhirnya bersenda gurau bersama,


******
3 bulan kemudian.

"Nak masa iddah mu sudah selesai kan? Bagaimana apakah ada tanda?"

"Tanda apa bunda?"

Bunda Ami memeragakan tangannya di depan perut dan menggerak-gerakkannya.

Riri menundukkan kepalanya. Matanya berkaca-kaca, seandainya dulu ia melakukannya dengan Husein, pasti ia punya kenang-kenangan darinya, cucu untuk bunda, buah cinta mereka mungkin.

Bunda Ami, berfirasat sendiri.
"Nak, sudah melakukannya dengan Husein kan?"

Riri menggeleng.
Bunda Ami menutut mulutnya, menahan kekagetannya, lalu bertanya lagi,

"Boleh kah bunda bertanya lagi, jadi sampai sekarang kamu masih virgin?"

Riri mengangguk.
Bunda Ami memeluk Riri, meminta maaf pada Riri atas perbuatan Husein yang belum menyentuhnya. Riri segera menggeleng, karena jelas ia yang belum siap di sentuh oleh Husein, ia menunggu waktu yang tepat, sayangnya waktu tak berpihak padanya.

Sedang dalam suasana haru, tiba-tiba Alfath pulang.
"Assalamualaikum bunda, maaf Alfath pulang nggak ngabarin"

Bunda dan Riri segera menghapus air matanya.
"Wa'alaikumsalam" jawab mereka berdua kompak.

"Tau gitu tadi bunda masak kesukaan kamu, jarang-jarang kan anak bunda yang satu ini pulang."

"Maaf bun, kemungkinan Alfath tinggal di sini beberapa hari, ada proyek di bandung."

Bahkan anak sendiri harus izin kalau ingin tinggal bersama ibunya, ini gara-gara aku. Batin Riri.

"Ngomong apa sih kamu"
Ucap bunda.

"Nggak papa, ini kan rumah kamu juga." sambung Riri.

Tiba-tiba Mirna yang tadinya tidur menangis. Riri segera berlari menghampiri Mirna. Bunda mengikutinya, sementara Alfath masuk kamarnya yang sebelahan dengan kamar Mirna. Namun belum sempat mepangkahkan kakinya ke dalam kamar, Mirna memanggil
"Om Apat.."

Beralihlah Mirna pada gendogan Alfath. Sepertinya Mirna meraa kangen dengan pamannya ini.

"Berhubung Mirna lagi kangen, mending sekarang kamu ajak jalan-jalan dianya ya"

"Acikk.." ungkap Mirna. "Es klim es klim"

"Sekalian belanja bulanan ya" sambung bunda Ami.

"Masak cowok disuru belanja bulanan bunda?"

"Ye.. Mirna sama bundanya kan satu paket, jadi sekalian belanja bulanan aja ya"

"Nggak bisa bunda," ucap Riri

"Ini kan weekend. Kamu juga nggak ngapa-ngapain."

"Bunda, kan tau posisi aku sekarang gimana" tambah Riri dengan kecanggungannya, berbicara setengah berbisik pada bunda Ami.

"Justru itu."

"Alfath mau kalau bunda juga ikut, lagian bunda juga nggak ngapa-ngapain kan"

Ide yang bagus dari Alfath. Bundanya bingung mau jawab apa lagi.

"Mm.. Bunda ada acara sama temen-temen muslimatan,"

"Ada aja alasannya." ucap Alfath yang terbiasa dengan bundanya.

Dengan banyak bantahan, akhirnya Alfath dan Riri mengalah, mereka dan Mirna kemudian pergi ke supermarket.

"Maaf ya bunda, emang gitu orangnya" ucap Alfath memecah keheningan di dalam mobil menuju supermarket.

"Beberapa bulan sama bunda, buat aku terbiasa sama sikapnya" ucap Riri sembari memangku Mirna.

Mereka terlibat obrolan ringan, dengan Mirna yang ikut campur berbicara.

Tibalah mereka disupermarket.
Mereka langsung belanja bulanan dulu, kini Mirna nurut.
Setelahnya Mirna yang menang dan melangkah ke counter es krim. Mereka telah mengabaikan kecanggungan diantara mereka. Orang-orang yang tidak tahu status mereka apa, memandang seperti mereka keluarga bahagia.


******

Thanks for reading :)

Assalamualaikum JodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang