4

17 3 0
                                    


Sudah seminggu aku bertukar pesan dengan Dhika. Hari-hariku mulai terasa berbeda. Tapi aku masih sadar untuk menahan agar tidak terlalu jauh.

Walau aku pernah mengenalnya karena sekelas dari kelas satu sampai kelas enam, bukan berarti aku benar-benar mengenalnya. Apalagi enam tahun lebih tidak bertemu. Pasti pergaulan merubah Dhika secara konvensional.

Bahkan kalau diingat, tidak ada sehari pun yang aku habiskan bersama Dhika untuk mengenal lebih jauh jauh dan jauh.

Satu hal yang pasti, aku menyembunyikan semua yang terjadi dengan perasaan ataupun dengan percakapan aku dengan Dhika dari siapapun. Siapapun. Termasuk Imah, orang yang sudah sejak Taman Kanak-kanak main bersama.

"Lagi bales chat siapa sih ?" tanya Imah yang sudah bertengger di belakang.

"Hah?" aku mengunci ponsel, "bukan siapa-siapa."

"Kirain lu chat di grup."

"Gak ah malas. Sebentar lagi juga bertemu. Ngapain pake chat."

"Jadi mau jalan kapan? Gue gak bawa motor loh. Jauh loh sekarang kita ngumpulnya."

"Ya elah berak lu. Orang cuma di rumah Putri lagi."

"Iya sih. Tapi udah mau maghrib nih. Mau sholat dulu apa nanti aja di rumah Putri?"

"Di rumah Putri aja. Rame nih udah ada Rully, Rahmat, Ari, Mila, Midha, Putri, Dhika, Nuri, Yanti, Ijah, Nurul, Dimas."

"Gila banyak juga minggu ini. Padahal gue niat untuk gak datang-datang lagi ke perkumpulan ini."

"Loh kok sama, met ?"

"Iya, gue udah mulai malas."

"Gue bosen, itu itu aja yang diomongin. Gak ada kerjaan lain."

"Lagi pula kan kita besok udah masuk kuliah."

"Baru pertemuan orang tua, met."

"Ya tetep intinya kita udah disibukkan lagi dengan aktifitas lain. Lagian sebagian dari mereka juga udah pada sibuk ngurusin kuliah, udah ada yang kerja juga. Walaupun masih banyak yang nganggur sih."

"Ya sih intinya... malas"

"Ya udah yuk jalan."

"Ambil kunci motor gue dong, Mah."

"Dimana ?"

"Di atas meja belajar."

"Ah gaya lu punya meja belajar, belajar juga engga."

"Belajar lah gue, met. Liat nih semester pertama IPK gue cum laude."

"Liatin aja liatin."

Kemudian kami pergi menuju rumah Putri.

Sesampainya disana, kami langsung bersalaman satu persatu. Ikut dalam lingkaran yang sudah dibuat sebelum kami datang. Aku duduk di antara Dimas dan Midha. Sedangkan Imah duduk berseberangan denganku, ia diapit oleh Rully dan Rahmat.

Dhika dimana?

Ia duduk di pojok sebelah Nuri.

Sial!! Kedapetan lagi liat Nuri sama Dhika sebelahan. Pasti mereka jalan bareng. Maksudnya Nuri pasti dijemput Dhika.

"Lu gak dijemput Dhika?" tanya Dimas, "minggu lalu kan lu datang sama Dhika".

"Engga, kan udah ada Imah."

"Bukannya kalian dekat?" lanjut Dimas.

"Ah engga! Kata siapa lu ?"

"Gue liat di twitter kalian akrab saling mention."

Sepucuk Surat dan Secangkir Latte (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang