Epilog

22 2 0
                                    

Setelah aku terbangun pagi ini, aku segerakan mengambil air wudhu untuk menjalankan ibadah sholat subuh. Dua rakaat pagi ini kuakhiri dengan doa yang kupanjatkan agar aku diberi hati yang lapang. Sentuhan sejuk yang Tuhan berikan pagi ini menjadikan akhir pekanku lebih semangat.

Aku bersegera membersihkan tubuh dan membantu Mama menyelesaikan pekerjaan rumah. Berusaha menyibukan diri adalah hal yang baik membunuh kegalauan.

Hari ini Dhika akan datang.

Usai memasak menu makanan hari ini, aku langsung menyelesaikan pekerjaan lainnya.

Wajahku kosong karena tidak dapat berpikir hal lain sejak semalam. Juan pun terlihat tidak peduli denganku.

Sejak aku mencoba mengakhiri hubungan kami Februari lalu, Juan semakin berubah. Perubahan itu membuat sisi lain dariku gelisah.

Di saat aku butuh Juan untuk tetap menemaniku menerima kenyataan tentang Dhika yang seminggu lagi akan menikah, Juan justru semakin tidak menganggap aku ada. Masalah apa yang sedang dialami hubungan ini. Aku belum mendapatkan jawabannya.

Semenjak Nenek meninggal, Juan semakin memperburuk pemikiranku. Dan semakin kesini, aku merasa seperti dua mata pisau sedang menusukku bersamaan. Hingga pada akhirnya, aku tidak bisa berbuat apapun selain merintih.

Tepat jam 10:54. Chat di whatsapp masuk dari beberapa orang. Pertama aku lihat dari teman kuliahku dulu yang meminta aku datang ke kampus untuk menemaninya. Kebetulan, aku ada urusan dengan sekretariat. Jadi aku mengiyakannya untuk datang ke kampus.

Kedua, dari Dhika yang bilang akan ke rumah jam 11.

Dan yang lainnya pesan dari rekan kantor.

Aku sempat bingung bagaimana aku mengatur rencanaku. Aku harus ke kampus dan niatku ingin menumpang dengan Om Iyus sampai kampus. Ia berangkat kerja tepat pukul 11. Sementara itu, Dhika berniat datang ke rumah.

Akhirnya, aku mengalah untuk tidak menumpang dengan Om Iyus, aku memilih meminjam motor Novan. Sementara itu, aku menunggu Dhika datang.

Usai merapihkan dandananku, aku keluar pintu rumah. Aku melihat Dhika sudah ada depan pagar. Aku menata nafasku agar tidak terlalu grogi. Ini pertemuan pertama setelah kejadian di bioskop.

Aku menghampirinya dengan nafas menggebu, jemari yang dingin, dan bibir yang memucat.

"Hai" sapaku pertama kalinya.

"Hai" ia melambaikan tangannya.

Kami saling melontarkan senyum.

Dhika mengambil setumpukkan kartu undangan di tas kecilnya.

"Jadi lu nganter punya gue doang atau sekalian sama anak SD lainnya? "

"Hmm lu mau gue titipin? "

"Gak masalah"

"Oke sebentar ya"

Dia berkali-kali melihat wajahku. Mungkin ia takut aku menangis di depannya. Tapi, itu tidak akan aku lakukan.

Tiba-tiba ia menoleh ke arah pintu. Ternyata Mama berdiri disana. Dhika menghampiri Mama dan mencium tangan Mama.

"Eh saya kira siapa" ucap Mama.

"Emang siapa, Ma? " tanyaku, aku tau Mama tidak pernah tau wajahnya Dhika.

"Gak tau. "

Aku dan Dhika terkekeh.

"Ini Dhika, Ma"

"Oh Dhika" Mamaku yang terkekeh. Ia menyuruh Dhika masuk ke dalam.

"Oia, ya ampun! Karna grogi jadi lupa nyuruh lu masuk. " aku menepuk jidat.

"Gak usah, disini aja. "

"Beneran? Pegel loh"

"Iya gapapa. Lagian lu mau ke kampus kan? "

"Iyaa, ada temen lagi sidang dan gue juga mau ambil legalisir"

"Oh gitu... Yauda ini buat temen SD. Minta tolong ya, Fay. "

"Iya siap nanti gue kasih tau mereka"

"Yauda thanks ya" Dhika pun pergi.

Aku berbalik badan dan kembali ke dalam untuk mengambil tas dan helm. Aku tidak ingin terlihat menangis di rumah. Tidak lagi.

Aku pergi dengan cepat dan menangis sepanjang perjalanan menuju kampus.

Terlalu membekas garis wajahmu di bayangan mataku. Terlalu sulit menghapus pandanganmu yang jatuh tepat di hadapanku. Terlalu sakit untuk aku belajar mengikhlaskan.

"Selamat tinggal suratku yang gak pernah aku baca. Setidaknya, aku belajar bagaimana cara merelakan. "
***

Well... Selesai juga yah. Alhamdulillah. Semoga yang sudah bertemu jodohnya bisa menjadi keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah. Bahagia selalu sampai anak cucu.

Terima Kasih Dhika a.k.a AH yang sudah menguatkan saya menyelesaikan ini. Memberikan saya ide untuk dapat diceritakan. Doakan saya dengan pilihan saya yang saat ini sudah bersama saya.

Sepucuk Surat dan Secangkir Latte (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang