15

15 2 0
                                    

Cinta tidak sesederhana itu. Merasa nyaman dengan seseorang, kemudian menjatuhkan segenap perasaan begitu saja. Yang pasti, jika diluar kendali seperti itu, cinta akan terasa menyakitkan.

Aku mengambil selembar kertas di meja kerjaku. Aku pun mengambil pulpen hitam dari laci. Aku masih bingung apa yang harus ditulis di atas kertas putih itu. Aku memutar-mutar pulpen diantara jari-jemari. Kaki kananku pun tidak berhenti bergerak. Aku memutuskan untuk lembur hari ini. Padahal sudah tidak ada kegiatan yang harus dilakukan di kantor. Tapi, rasanya enggan pulang.

Satu menit berlalu dengan pulpen masih berputar di jemari. Lalu, menenggak air mineral dari botol minu. pink yang kubawa dari rumah. Kaki kananku semakin cepat kugerakkan. Aku mulai mendaratkan ujung pulpen di atas kertas. Baru dapat membuat titik di pojok kiri atas. Setelah itu, aku kembali mengangkat pulpen dan memutarnya kembali. Sudah berulang kali mencoba mencairkan suasana dengan memainkan playlist dari aplikasi musik di ponsel.

Lagu pertama, berlalu begitu saja tanpa membuat pulpen ini menggoreskan tinta di kertas putih tadi. Kuhentikan gerakan kaki dan mencoba untuk berdiri. Aku menarik nafas panjang kemudian mulai berjalan keluar mejanya menuju kamar mandi.

Aku menatap cermin sepanjang 90cm dengan cahaya lampu neon di kanan dan kirinya. Masih dengan keadaan gelisah. Aku menyalakan kran dan mengusapkan air yang kutampung dari kedua telapak tangan di wajah kusut ini. Kemudian, aku memutuskan untuk kembali ke ruangan. Aku mematikan seluruh lampu ruangan dan menyalakan lampu kerja di meja.

Lagu selanjutnya terputar setelah sedari tadi tidak dimatikan. Aku meraih kembali pulpen dan kertas putih itu ke hadapan. Aku menulis kata "Resah". Kemudian dirobek kertas tersebut menjadi sobekan kecil dengan tulisan kata tadi di tengah-tengah kertas tersebut. Akhirnya, ia pulang setelah menancapkan sobekan kertas itu di pembatas meja.

***
"Lu sehat kan, Fay? " tanya Fina yang selalu merusak kegelisahanku dari kemarin sore.

Fina sosok yang selalu ingin tau dan pemerhati yang detail untuk hal-hal yang terdekat darinya. Sebagian perfeksionis, terutama dalam penampilan. Tapi, dia teman yang baik yang berani melontarkan kata "lu emang sampah! " ke aku.

Flashback on

"Kok bisa-bisanya IPK lu anjlok gini, Fay? Gara -gara Vano?"

"Enggaa.. Gak gitu, Fan. "

"Lu emang parah! Kecuci otak lu cuma karena perasaan ke Vano, orang yang gak pernah menghargai perasaan lu sedikit pun. Yang entah ada dimana saat lu butuh perhatian. Dan lu, lu cuma bilang 'udah Fan gapapa. Biarin aja' tapi lu sambil nangis-nangis? Lu emang sampah! "

Aku terbangun dari dudukku di bangku panjang di koridor fakultas. Mataku melotot menantang pandangannya. Kata 'sampah' yang terucap dari bibir tipisnya membuat suasana hati semakin runyam.

"Temen macem apa lu? Berani ngatain temen sendiri sampah? Lu gak jadi gue, Fan. Dalam waktu seminggu, masalah bertubi-tubi dateng ke kehidupan gue. "

"Harusnya lu bisa atasin itu dengan kedewasaan lu, Fay! " Fani kembali menantang.

"Eh denger ya mulut comberan! Hidup lu udah serba berkecukupan. Gak perlu mikirin biaya semester gimana supaya bisa ikut UAS. BISA GAK SIH JADI TEMEN KALAU GAK TAU APA-APA NANYA DULU? " Aku semakin menaikkan nada bicaraku.

"Lu gak pernah kan ngerasain? Hari Jumat lu kalangkabut nyari duit buat lunasin duit semester elu. Kemudian Sabtunya di saat harusnya rehat di rumah tapi lu denger orang tua lu berantem karena bokap lu ketauan masih nyimpen perempuan, Minggunya lu tau pacar lu lagi jalan sama cewek lain sekalipun itu sahabatnya, dan Seninnya lu Ujian Akhir Semester. Lu gak ngerasain jadi gue. Jadi jangan sekali-sekali asal ngomong!!! "

Fani terkejut mendengar pernyataanku, terutama di bagian masalah keluarga. Dia mengusap wajahnya dan memijit keningnya. Aku kembali duduk dan menagis sejadinya. Walau kondisi koridor hanya ada aku, Fani, Nita, dan Wati, tapi apa yang sudah kuucapkan tadi terlalu banyak.

Kami saling meredam emosi dengan dibantu keempat teman kami setelah Andira dan Indri datang.

"Hidup gue pelik. Pelik. Gue gak pernah berharap kuliah gue kayak gini. Gue akan kehilangan beasiswa gue. Gue gak tau harus gimana lagi. "

Flashback off

"Fay, inget! Jangan sampai kita adu bacot lagi kayak waktu itu hanya karna lu gak cerita apa masalah lu, san bibir mungil gue asal ucap kata jelek. "

Aku ingat maksud dia.

Kusingkirkan piring makananku ke sisi kiri. Mataku mulai bergerilya menatap kesana kemari agar kami bertiga tidak ketahuan Manajer sedang makan di kantin saat jam kerja.

"Pertama, gue lagi mikir gimana cara lepas dari Alka. Kedua, gue kangen banget sama Dhika. Ketiga, kemarin sore gue dapat kabar kalau Dhika lagi jalan sama Imah. Keempat, ini laki yang namanya Juan malam minggu besok ngajakin gue ke Senayan buat dateng ke acara musik. "

Fani dan Nita saling lihat-lihatan. Mereka mencoba mencari tanggapan yang pas dari ucapanku belarusan.

"Gak usah mikir keras-keras. Santai aja, paling gue yang galau. "

"Lu yakin kan, Fay? Buat lepas dari Alka? " tanya Nita.

"Yakin lah, udah gak punya rasa percaya lagi sama dia.

"Kalau gitu jadiin Juan pengalihnya" lanjut Fina.

"Kasian gak sih? Kalau dia benar-benar suka sama gue? Kan sama aja gue kasih harapan palsu. "

"Ya engga. Nanti lu bisa perlahan-lahan sayang sama Juan. Meskipun gue belum pernah ketemu Juan, gue rasa dia lebih baik dari Alka. "

"Terus soal Dhika gimana? " tanyaku memelas menatap kedua wajah mereka.

"Dasar cewek bego!!! Ya biarin aja. Itu membuktikan kalau Dhika gak pernah serius sayang sama lu" kalian tau siapa yang bisa bicara kasar itu.

"Tapiiiiiiiii.... Cinta tidak sesederhana itu. Merasa nyaman dengan seseorang, kemudian menjatuhkan segenap perasaan begitu saja. Yang pasti, jika diluar kendali seperti itu, cinta akan terasa menyakitkan. "

***

Sepucuk Surat dan Secangkir Latte (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang