12

15 2 0
                                    

Perasaanku sepenuhnya milik Dhika. Sejak hari dimana aku melihatnya sedang melihatku bersama cowok lain di depan pintu rumah.

12 September. Aku mencatat hari itu dan kusimpan dalam pikiranku yang tidak tau sampai kapan. Sampai yang aku sadari, dia adalah rahasiaku selama ini.

Mataku terbuka, hatiku tertutup. Bahkan usaha keras Alka untuk meraih kembali kepercayaanku tidak dapat kuterima.

Alka mulai romantis dalam segala hal. Dia memprioritaskan aku lebih dari obsesinya. Tapi, aku hanya bisa membalasnya dengan rasa hambar.

***
Hujan hari ini membuat rumah terasa sejuk. Setiap rintik yang jatuh mengisi keheningan dalam pikiranku. Hembusan angin mengiring setiap tetesan hujan menerpa wajahku. Aku menatap pagar. Membayangkan saat hari itu Dhika berdiri disana.

Suara dari film New Moon bersahutan dengan hujan. Walau earphone terpasang di telinga, itu tidak merusak lamunanku menembus ribuan rintik yang menghalangi pandangan.

Kosong. Itu yang terlihat di mataku. Tidak bisa aku mengendalikan hal ini selama satu bulan terakhir. Meski kini, ada orang lain lagi yang mulai mendekati. Mungkin dia seseorang yang bisa menjauhkanku dari Alka. Itu tujuanku sejak 12 September.

"Hei! Kamu kok bengong? " tanya Alka seraya melambaikan tanggannya di wajahku, "kasian nih filmnya dianggurin. "

Aku masih menatap hujan. Tidak memedulikan Alka yang menikmati seri film Twilight.

Perasaanku mungkin seperti Bella saat ditinggal Edward pada seri film ini. Satu kalimat Bella yang 100% sedang menggambarkan kondisiku.

... But the absence of him is everywhere I look. It's like a huge hole has been punched through my chest. The pain is my only reminder that he was real...

Setiap malam, aku memikirkan Dhika. Selalu terbayang sosoknya yang hadir di depan pagar. Berdiri tanpa membuka masker. Tanpa aku tau kejujuran dari wajahnya saat melihatku.

Dalam sebulan ini pun, aku sudah berkali-kali memimpikannya. Sampai aku merasa terseguk menangis saat bermimpi. Meski sepanjang waktu aku berusaha mengelak untuk tidak mudah saja percaya dengan perasaan yang ia gambarkan.

Aku mencoba kembali hidup. Penuh dengan tawa tipuan dan sedikit cibiran kepada Dhika untuk sekedar menafikan rasa. Sampai aku merasa perlu untuk kembali membuka mata dan hati.

***
"Mas, mau ngeprint bisa kan? "

"Bisa. Tapi banyak? "

"Banyak. Ada 34 lembar. "

"Kertasnya tinggal dikit, dek. Ini juga udah jam setengah 11."

"Aduh gimana ya? " aku mengacak-acak rambutku dan menggigit bibir bawahku. Aku memainkan jari-jemariku mengetuk-ketuk meja sang penjaga warnet.

Dia pun terlihat bingung dan sepertinya ingin juga membantuku.

"Hmm.. Gini aja, beli kertasnya di samping. Saya yang beli. Tapi ukurannya lebih besar dari kertas ini. "

"Nah... " aki menurunkan jariku yang beberapa detik lalu mencubit bibir bawah.

"Yauda sebentar, ya. "

Mas yang entah aku tidak tau namanya pun keluar warnet untuk membeli kertas di warung sembako di sebelah. Tidak lama kemudian ia kembali dan memasangkan tumpukan kertas itu di mesin printer.

"Yaudah, silahkan print. Bawa flashdisknya kan? "

"Bawa, Mas. Tapi masih ada yang mau saya rapihin. 10 meniiiittt aja. " aku menunjukkan kesepuluh jari tanganku.

"Berarti log in dulu ya. "

Aku mengangguk. Kemudian aku memakai salah satu komputer disini untuk menyelesaikan tugas Seni Budaya. Kebiasaan mahasiswa, menyelesaikan tugas ketika besoknya harus di kumpulin atau dipresentasikan.

Aku mengambil beberapa bahan yang dikirim temanku melalui facebook. Selesai menyusun materi tambahan aku mencoba mencetak satu halaman power point.

"Gimana, Mas? "

"Aman. "

Setelah itu aku melanjutkan menyetak 33 halaman sisanya.

Sambil menunggu keluar mesin cetak, kakiku tidak berhenti bergerak. Kebiasaanku ketika panik.

"Banyak banget ya ngeprintnya? " Mas-mas itu mengajakku ngobrol.

"Iya" jawabku dingin.

"Maaf ya kertasnya habis tadi. Jadi nunggu beli dulu di sebelah. "

"Iya"

Mulai deh. Sok sok caper. Ribet nih kalo lama-lama disini. Males diajak ngobrol mulu nanti. Cepetan kek.

"Baru 9 lembar. Sabar ya" ucapnya saat ia melihatku tidak hentinya menggerakan kaki dan mencubit bibir bawah.

Berengseeekkk. Lama banget sih ngeprint doang aja. Duhh males ngomong nih.

"Iya gapapa. Efek malem. Makin malem mungkin makin lemot. "

Dia tertawa mendengar aku akhirnya berbicara, "iya efek malem".

"Oh lu kuliah disana? " tanyanya membuka suasana kembali.

"Iya"

"Semester berapa? "

"Tiga, Mas. "

"Kalo gue lagi nyiapin skripsi di Budi Luhur. "

"Oh Mas nya kuliah juga. "

"Iyaa"

Dan kemudian mindset tentang sang penjaga warnet berubah.

Bawaan dari hati mungkin, ketika ada orang yang tidak dikenal mencoba mengakrabkan diri, aku menilai orang itu dari apa yang aku lihat pertama kali. Sikap underestimate aku pun terlontar untuk orang yang selalu aku lihat di depan komputer Admin Warnet.

"Selesai. Alhamdulillah. " ucapan rasa syukurku karena tugasku sudah siap dipresentasikan besok pagi.

"Alhamdulillah. " Dia mengikuti ucapanku.

Aku mengeluarkan uang 100.000 dan memberikannya ke penjaga warnet itu. Dia kembalikan dengan pecahan yang lebih kecil. Tanpa banyak basa-basi, aku hanya mengucapkan terima kasih dan meninggalkan warnet itu.

Aku berjalan dengan tempo cepat menuju rumah. Sekarang sudah pukul 11:16. Aku masih perlu merapihkan lembaran-lembaran materi presentasi agar besok pagi tidak keteteran.

Setelah rapih semua, aku merebahkan badan dan mulai membuka media sosial sebagai penghantar tidur.

Mataku terbuka ketika seseorang mengirimiku pesan di facebook.

Maaf ya tadi lama ngeprintnya. Efek malam (Fadel Juanda)

Fadel? Dia namanya kok sama kayak Fadel temen SMA gue?

Seketika aku teringat saat Fadel bilang bego waktu aku bertanya mengenai akun bernama Fadel Juanda mengirimi pertemanan di Facebook.

Iya, Mas Fadel balasku diiringi kerutan di kening.

Btw,  gue biasa dipanggil Juan. Jadi kalo mau panggilnya, Mas Juan.

Ok Mas Juan

Kok belum tidur?

Membaca pesannya yang aku rasa mulai mengarah ke yang lain, aku langsung menutup facebook dan beralih tidur.

Udah ah. Paling ujung-ujungnya modus nih orang. Tidur aja. Besok presentasi mesti keliatan fit dan gak mata panda.

Sepucuk Surat dan Secangkir Latte (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang