1

42 5 1
                                    

Getar ponsel malam itu tidak ada hentinya. Sudah setengah jam lebih dan masih saja bergetar. Paling hanya terjeda satu sampai dua detik. Kemudian bergetar lagi dan lagi.

-Gue tau malam ini gue emang ada janji. Tapi bisa gak sih gak usah berisik gitu. Begini nih kalo jadi orang paling berpengaruh di satu perkumpulan. Elah-

Aku merapihkan penampilanku. Rambut bob sebahu kusisir rapih. Lurus sampai terlihat jatuh bak iklan shampo di televisi.

-kuncir gak yah? Kalo gak dikuncir keliatan banget kurusnya. Lagian kenapa sih leher kok kecil banget. Apa pakai jilbab aja ya? Tapi kan, mereka kenalnya dulu gak pakai jilbab. - Aku memandang seluruh badan dari pantulan cermin meja rias. Hadap kanan, hadap kiri, balik lagi lurus, hadap kanan lagi, dan kembali lurus ke depan cermin.

Sementara ponselku masih tetap tidak berhenti bergetar di atas meja belajar yang ada di sisi lain tempat tidur. Bukan, bukan panggilan dari seseorang, hanya chat dari grup BBM yang tidak ada habisnya. Paling hanya satu atau dua dari chat pribadi.

-hhhhh- Aku mengambil ponsel itu seraya menarik tali sling bag di sampingnya. Aku berjalan keluar kamar tanpa lepas dari layar ponsel. Jari jemari tangan kiriku menyimbangi poni depan untuk merapihkannya.

Aku berjalan menyusuri ruang tamu dan menuju pintu depan. Mama ada di ruang tamu sedang merapihkan meja yang sekitar sepuluh menit yang lalu ditinggalkan oleh tamu. Beliau menoleh ke arahku dan melihatku jalan tanpa melihat ke depan.

"Fay, kalau jalan liat ke depan. Jangan ke hp! "

"Iya, Ma" sahutku tanpa melirik ke arahnya.

"Fay, kalau dibilangin mama liat ke mama. Jangan liat ke hp! "

"Iya, Ma. " Aku menghentikan langkah dan menoleh ke Mama.

"Mau kemana?" tanya Mama seraya meletakkan kedua tangannya di bawah dada.

"Mama mah kebiasaan. Fay udah ijin dari siang, udah ceritain asal muasal kenapa Fay harus pergi. Tetep aja nanyain pas mau berangkat 'Fay mau kemana?' Gak inget emang yang Fay kasih tau tadi? " Aku menggerutu.

"Ya mama mau pastiin lagi aja, " mama mengeles, "udah bilang sama ayah? "

"Nanti Fay chat ayah. Udah yah, ma, Fay jalan dulu. Gak enak nih grup udah berisik nanyain Fay dimana. "

"Kamu jalan sama siapa? "

"Ih... Kan... Sama Imah, Ma. Imah udah nunggu tuh di depan. " Aku menunjuk ke luar rumah.

"Kenapa gak disuruh masuk dulu? "

"Gak usah deh. Imah sama Fay buru-buru. " Aku menghampiri Mama dan mencium punggung telapak tangannya. "Assalamu'alaikum. "

"Wa'alaikumsalam" sahut Mama. Kemudian Mama melanjutkan beberesnya.

Aku berjalan dengan cepat menuju pagar dan memasukkan ponsel ke dalam tas.

-oiya lupa! -  Aku kembali ke depan pintu untuk mengambil sneakers merah merk converse yang berhasil aku beli dengan uang tabunganku sebulan yang lalu. Original dari storenya di sebuah Mall di Jakarta.

Tidak mudah mengumpulkan recehan untuk membeli barang yang sudah kuinginkan setahun terakhir. Tapi, ketika barang itu sudah ditangan, rasa puas yang tidak tertandingi oleh apapun memeluk hati.

"Ayo, Mah, jalan. Rully udah berisik banget di grup. Lu gak bilang apa kalau kita di jalan gitu? "

"Engga ah, males. " Imah menarik gas dan kita mulai melaju di jalan kampung suka menanti menuju jalan cempaka Raya. Sebenarnya, lokasi rumah dan tempat janjian itu hanya berjarak sekitar 500 meter. Mungkin gak sampai, malas juga aku menghitungnya.

Sepucuk Surat dan Secangkir Latte (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang