19

6 2 0
                                    

Aku harus bisa mengambil keputusan. Jika memang itu yang aku inginkan, maka aku harus tegas dengan diri sendiri.

Berlarut dalam hubungan tanpa status tidak ada gunanya. Apalagi tidak ada satu pun benang merah yang perlu dipertahankan.

Rasa percaya sudah pudar sejak lama. Apalagi rasa sayang? Semua yang terjalin sejak hari dimana aku dan perempuan itu berkomunikasi hanya berdasarkan rasa semu semata. Hanya karena aku tidak sanggup sendiri, aku rela membiarkan seseorang memberi pengaruh buruk.

Walau memang, Alka memdekatkan aku pada Tuhan, Alka juga yang mengenalkan aku pada hal yang dari dulu aku jauhi. Dulu, hal-hal itu hanya omongan kasar dan pikiran liar. Namun, saat dekat dengan Alka, semua teori tidak hanya sekedar teori.

Mama pun sudah tidak merestui kedekatan aku dan Alka sejak Mama membaca semua chat tentang Alka. Kau tau, orang tua punya perasaan peka yang dapat mengetahui hal buruk dan tidak baik untuk anaknya.

Tiga kali aku pergi menghabiskan akhir pekan bersama Juan. Pada akhirnya aku menyadari, aku juga berhak memilih. Setidaknya untuk memberi ketegasan pada diriku sendiri.

Malam dimana Juan menggandeng tanganku, aku yakin memang dia yang aku butuhkan. Aku harap, aku bijak dengan keputusan ini.

"Halo Alka? Dimana? " aku untuk pertama kalinya menelpon Alka.

"Masih di kampus. Mungkin jam 10 baru pulang, Mah. "

"Mah? Mamah? Ini gue Fay. "

"Iya, Mah, Alka baru pulang nanti jam 10 malem. "

"Eh budek lu ya? Ini gue Fay. "

"Iya, Mah apa? "

"Ih bodo amat. Alka nanti balik dari kampus mampir ke rumah gue. Ada yang mau gue kasih. "

"Hah?  Kado, Mah? Dari Uwa? Iya nanti Alka ke rumah Uwa abis dari kampus. Nanti Alka sms ya. "

Tut

Alka mematikan teleponnya. Perasaanku kuat Alka berbicara seperti itu karena ada sesuatu yang ia sembunyikan disana. Apapun itu, aku sudah tidak peduli.

***

Saat ini jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Aku bersegera membugkus kado ulang tahun Alka dengan bungkus kado berwarna biru bergambarkan jam dinding.

Iya, ini memang kado yang sudah aku janjikan sebulan yang lalu. Maka dari itu, Alka benar tentang kado. Tapi Alka mengada-ada tentang Uwa.

Usai rapih membungkus hadiah, aku mengiriminya pesan singkat. Aku mengingatkannya kembali agar mampir ke rumah.

Sudah tidak ada lagi rasa deg-degan, sudah tidak lagi merasa nervous, sudah tidak ada lagi rasa penasaran.

Setengah jam kemudian, seseorang memencet bel. Aku yakin itu Alka. Aku segera membuka pintu dan menghampirinya.

Bajunya basah karena memang dari tadi sore hujan. Ternyata, hujan mengguyur seluruh Ibukota. Aku berusaha tidak menatap matanya. Karena berulang kali aku berusaha ingin meninggalkannya, aku selalu terenyuh dalam tatapan sayunya. Seolah dia berkata, dia butuh aku untuk terus berada di sisinya dan menguatkannya.

Setahun dekat dengan Alka, tidak sedikit cerita tentang kerapuhannya masuk ke telinga. Itulah yang aku yakin, kenapa aku bertahan, karena aku simpatik dengan kehidupannya. Dengan Ayah dan Mamanya.

Aku menunduk saat dia berdiri di balik pagar. Aku berusaha sekuat mungkin untuk tidak melakukan kontak mata dan kontak fisik dengannya.

"Jadi mana kado guem? " tanyanya dengan rasa percaya diri.

Aku mengulurkan tangan dan memberikannya kado berisikan jaket berwarna navy.

"Lu tau isinya apa. Tapi maaf gue gak bisa kasih apa yang lu mau. Setidaknya ini bermanfaat untuk lu sekarang dan seterusnya. Simpan baik-baik. Gue harap ini bisa menjadi pengganti gue. "

"Duuuh makasi banyaaak perempuan yang paling gue cintaaaa... " ia mendekatkan tangannya dengan tanganku. Untung saja kita dibatasi pagar. Sehingga dia tidak semakin nekat untuk melakukan kontak fisik

"Dan satu hal lagi yang mau gue sampein"

"Kalo ngomong liat lawan ngomongnya dong, trus buka dong pagernya. Gak mau gue cium keningnya? "

Aku membuka pagarnya.

"Alka, ini terakhir kalinya gue kasih izin lu ke rumah gue. Mulai besok dan seterusnya, pagar ini tertutup buat lu. "

"Ah apa sih kamu? "

"Gue gak mau liat lu di rumah gue lagi. "

"Bercanda "

"Gue gak bercanda"

"Lu mau ninggalin gue? "

"Iya"

"Buat apa dan buat siapa? "

"Bukan untuk siapa-siapa. Ini untuk diri gue sendiri. Gue gak mau terus-terusan nyakitin perasaan gue sendiri. "

"Boong! "

"Sekarang lu bisa pulang "

"Pasti karna Dhika? Ya kan? "

"Bukan"

"Fay lu kenapa jahat sama gue gini sih? "

"Karna lu jahat duluan sama gue"

"Tapi gue udah minta maaf"

"Udah gue maafin"

"Kenapa sekarang ngusir gue? "

"Ada orang lain yang lebih baik. "

"Siapa? Bukannya Dhika udah benci banget sama lu? "

"Bukan Dhika. "

"Terus siapa? "

Aku mendorongnya keluar area rumah.

"Fay, gue sayang sama lu" dia menarik tanganku hingga aku berada dalam peluknya.

"Lepasin gue! " aku mengelak.

"Engga" dia menggenggam tanganku kuat.

"Lepasin! "

"Jangan lepasin genggaman gue, Fay. Gue sayang lu" kemudian ia mendaratkan ciuman hangat di keningku. Aku terus tertunduk merasakan kehangatan yang selalu Alka berikan.

Tak lama ia lepaskan ciuman itu. Aku berani menatapnya untuk terakhir.

"Kamu tau, Ka. Aku pernah bilang kalau ciuman di kening itu berarti sebuah perpisahan. Dan seseorang yang meninggalkan ciuman di kening untuk mengucapkan perpisahan. Aku anggap itu ucapan perpisahan dari kamu. "

"Engga, Fay, engga! "

Aku menutup pagar dan meninggalkan ia di luar rumah.

Bukan keputusan yang sulit sebenarnya, karena tidak ada sedikitpun alasan untuk bertahan dengan Alka. Akhirnya, aku bisa melakukannya.

Selasa, 25 November.

***

Sepucuk Surat dan Secangkir Latte (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang