DUA

212 26 2
                                    

Selama di perjalanan, tidak ada yang berbicara sama sekali. Gia diam karena badannya jadi sedikit gemetar akibat kehujanan. Sebenarnya jaket yang diberi oleh pria itu tidak berguna sama sekali karena badannya tetap basah, dan tubuhnya tetap menggigil. Sementara pria itu sesekali memandang Gia dari kaca spion.

"Gue tau jaketnya emang gak guna sama sekali karena badan lo tetep basah. Tapi seenggaknya daleman lo gak akan keliatan kalau pake jaket." ujar pria itu sedikit keras agar Gia bisa mendengarnya.

Gia tersentak dari lamunannya, dia melirik ke arah spion dan memandang pria itu. Memang ada benarnya juga dia, karena hari ini dia mengenakan kaos putih yang cukup transparan sebab cuaca pagi tadi sangat terik sehingga Gia memutuskan untuk mengenakan baju itu agar tidak gerah. Tapi, nyatanya sekarang, hujan malah turun dengan sangat deras. Cuaca akhir-akhir ini memang sulit diprediksi.

Kilat serta suara gemuruh petir tiba-tiba saja muncul dan itu mengejutkan Gia, dia memekik takut sambil dengan refleks memeluk pria itu dengan erat.

Pria itu menahan napas merasakan Gia memeluknya begitu erat, walau terhalang ransel tapi tekanan dadanya cukup terasa di punggungnya.

"Setakut itu sama kilat?" tanya pria itu yang langsung diangguki dengan cepat oleh Gia yang masih memeluknya dengan erat, wajahnya terbenam di bahu pria itu, berusaha bersembunyi dari kilatan petir yang kalau-kalau saja akan muncul lagi.

Motor tiba-tiba saja berhenti, Gia yang menyadari itu langsung melepaskan pelukannya. Di lihatnya lampu lalu lintas berwarna merah --penyebab motor ini berhenti.

"Mau neduh dulu?" tanya pria itu begitu pelukan Gia terlepas.

"Ehm... Sori." jawab Gia yang sama sekali tidak nyambung dengan pertanyaan pria itu, jelas. Gia malu dan canggung sebab dia baru sadar kalau dia memeluk pria itu cukup erat.

"Untuk?"

"Meluk."

Terdengar tawa kecil dari pria itu, "ga apa kok."

Lampu hijau sudah menyala dan motor kembali berjalan membelah jalanan kota Jakarta yang tidak terlalu ramai saat hujan deras tengah malam seperti ini, membuat pria itu dengan leluasa melajukan motornya dengan kecepatan cukup tinggi dan itu membuat tangan Gia refleks langsung meremas baju pria itu untuk berpegangan.

"Peluk lagi aja ga apa kok kalau lo takut jatoh." ucap pria itu sambil menepuk pelan tangan kiri Gia yang yang berada di pinggangnya.

Gia menggeleng, jelas gestur itu tak terlihat oleh pria itu tapi dia menyadarinya saat tangan Gia tiba-tiba terlepas dari pinggangnya dan saat itu juga dia memelankan laju motornya.

Tak berapa lama, akhirnya mereka sampai di rumah Gia. Motor berhenti tepat di depan pagar berwarna cokelat tua yang sudah sedikit pudar, beberapa meter di belakang pagar yang tak terlalu tinggi itu berdiri sebuah rumah bertingkat dua yang cukup minimalis dengan cat berwarna putih gading. Angka 16 bertengger di samping pintu rumah itu.

Gia melepaskan helm, seketika rambutnya jadi basah juga karena hujan yang masih turun dengan deras.

"Jaketnya gak usah." cegah pria itu saat Gia ingin melepaskan jaketnya.

Gia mengangguk. "Tapi, gak mau mampir dulu?" tanya Gia, dengan suara yang sedikit gemetar karena kedinginan.

"Mampir dengan baju basah kuyup gini bukan waktu yang tepat, lagi pula udah malem. Next time gue bakal mampir kok." sahut pria itu.

Heavy RainfallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang