SEPULUH

66 11 3
                                    

Pukul setengah sembilan pagi seperti biasa, Kia baru bangun, diam sebentar di atas tempat tidur sambil mengumpulkan nyawa, matanya menatap lurus pada langit-langit kamarnya, kemarin malam Bima datang dan sesuatu dalam hatinya juga kembali datang, rasa sakit itu, kecewa juga benci, semuanya bercampur jadi satu dan membuat dadanya terasa sesak seperti dihimpit oleh benda keras, dia bahkan hanya mampu menyebutkan nama pria itu tanpa bisa berkata apa-apa lagi yang padahal sebenarnya banyak sekali yang ingin dia tanyakan, ungkapkan bahkan rasa-rasanya dia juga ingin sekali memaki pria itu tapi, yang keluar justru hanya air bening yang mengalir begitu deras dari kedua matanya tanpa mampu Kia tahan.

Ibu mengusirnya cukup kasar malam itu, meski pria itu sama sekali tak melawan. Bima hanya mengikuti ucapan Ibu yang menyuruhnya untuk segera pergi meski matanya tak pernah lepas dari Kia dan bibirnya tak membantah satu katapun.

Cukup baik Bima bersikap seperti itu, mungkin saja dia sadar akan kesalahannya dan membantah hanya akan membuat suasana semakin runyam, Kia bersyukur untuk hal itu. Untuk Bima yang masih bisa menahan diri dan terlihat jauh lebih tenang dari tiga tahun lalu dalam menyikapi sebuah masalah. Setidaknya, itu yang terlihat dan terbaca oleh Kia dari raut wajahnya.

Kia mengembuskan napas kasar, kemudian bangkit dan turun dari kasur empuknya, tak ingin berlama-lama dan berlarut dalam rasa sesak itu yang kini bahkan masih terasa.

Kia berdiri di samping kiri kasurnya, memerhatikan gadis mungil dengan kulit putih yang masih tertidur sambil memeluk boneka kambing kesayangannya, lesung pipi tercetak di kedua pipi tembamnya saat anak itu tiba-tiba tersenyum dalam tidurnya, entah dia sedang bermimpi apa tapi Kia jadi ikut tersenyum melihat pemandangan pagi yang begitu indah.

Vanilla, anak Kia dari hasil hubungannya dengan Bima tiga tahun lalu. Iya, Kia hamil saat masih duduk di bangku SMA kelas satu dan itu oleh Bima pacar pertamanya, Bima adalah yang pertama bagi Kia dalam hal apapun, kebahagiaan, kerinduan, kesedihan serta kekecewaan juga kebencian dan yang paling menyakitkan adalah kehancuran. Semua rasa pernah Kia alami dengan Bima --orang yang paling Kia percaya tidak akan pernah meninggalkannya justru malah menghilang begitu dia tahu kalau Kia hamil.

Bima meninggalkannya dalam segala kerumitan dan kebingungan yang ada saat itu, jangan tanyakan soal perasaannya waktu itu, bahkan sampai saat ini hatinya masih begitu berantakan dan dengan kemunculan Bima yang secara tiba-tiba setelah segala upaya sudah Kia lakukan untuk bisa lepas dan melupakan pria itu malah membuatnya jadi bertambah bingung, untuk apa dia kembali datang?

Kia menggelengkan kepala, terlalu lama dia berdiam diri dengan segala ingatan tentang Bima yang hanya membuang-buang waktu, kemudian dia mengambil dua botol susu kotor yang sudah kosong berserak di atas tempat tidur bekas Lala semalam, lalu keluar dari kamar dan turun ke bawah untuk mulai membereskan rumah seperti biasa.

Tapi, tak lama saat dirinya sedang sibuk mencuci piring-piring yang kotor di dapur, teliganya mendengar suara Lala menangis begitu keras dari arah tangga, dengan segera Kia lari dan mendapati Lala sudah berada di bawah tangga dengan posisi telengkup.

"YaAllah, Lala kenapa?!" tanya Kia panik sambil mengangkat tubuh Lala, saat tubuh Lala berbalik, Kia langsung melihat darah keluar dari hidungnya dan cukup banyak.

"Sakit, Kak..." tangis Lala, wajahnya memerah dan hidungnya terus mengalir darah dan Kia berusaha menutupnya dengan sebelah tangannya yang otomatis langsung berlumur darah.

"Iya sabar ya, La. Kak Kia obatin yaa." Kia mencoba menenangkan Lala meski dirinya juga sebenarnya panik dan sangat takut Lala kenapa-kenapa sebab anak itu sepertinya jatuh dari tangga.

Heavy RainfallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang