TUJUH

166 28 2
                                    

Sudah seminggu lebih dua hari Kafa tak diizinkan untuk menemui Kia, bahkan hanya untuk sekadar melayat Ayahnya saja Kia bersikeras tak memperbolehkannya, Kafa sempat hadir hari itu tapi Kia malah mengusirnya untuk alasan entah apa, bibirnya tak pernah mengutarakan alasan yang jelas kenapa Kia jadi setidaksuka itu dengan Kafa.

Banyak pertanyaan yang terus berotasi di kepalanya, menuntut untuk di jawab tapi Kafa tak tahu sebab semua jawaban ada di Kia. Hari-hari dilaluinya dengan terus memikirkan apa kesalahannya pada wanita berambut sebahu dengan senyum manis yang memabukan bagi Kafa bahkan sejak hari pertama mereka bertemu. Seingatnya, terakhir kali setelah kejadian malam itu Kafa menemukan Kia sedang berada di dalam mobilnya, membaca pesan dari Gia yang mengatakan bahwa Ayah sudah tidak ada kemudian Kia menangis dan tak bicara apapun lagi sampai hari ini.

Kafa tak bisa menghubunginya sebab untuk sekadar bertukar nomor telepon saja tidak sempat, beberapa kali dia juga datang ke rumahnya untuk sekadar melihat Kia dari kejauhan. Tapi, hari ini Kafa memutuskan untuk menemui Kia lagi setelah sebelumnya Rafa mengatakan bahwa Kia berada di rumah sendirian sebab Gia dan Ibunya sudah mulai membuka toko kue milik keluarga mereka lagi setelah tutup selama seminggu lebih.

Kafa baru tahu kalau keluarga Kia memiliki sebuah toko kue, dia juga mengetahui aktifitas Kia sehari-sehari dari Rafa yang mendapat informasi akurat dari Gia. Katanya, setiap hari Kia selalu berada di rumah sendirian dari pagi sampai pukul satu siang karena Ibunya akan pulang untuk menggantikan Kia menjaga sepupu kecil mereka yang ikut tinggal di sana.

Kini Kafa sudah berada di depan pagar rumah Kia, dia menatap rumah bercat putih gading itu yang kini terlihat begitu sepi, berbeda dengan beberapa hari lalu yang ramai karena banyak kerabat dan tetangga yang datang untuk melayat. Kafa menarik napas sebelum mulai memanggil nama Kia dengan sedikit berteriak, lima menit tak ada yang menyahut sampai akhirnya dia mencoba membuka kunci pagar yang terlihat tidak tergembok dan mulai menggeser kunci itu. Sedikit sulit sebab besi pagar itu sudah mulai berkarat, berbeda dengan beberapa waktu lalu saat Kafa membukanya begitu mudah. Benar kata Kia, kuncinya memang suka macet.

Kafa mengetuk pintu tiga kali, tetap tidak ada yang menyahut, sekali lagi dia mengetuk dengan sedikit keras sambil memanggil nama Kia.

Pintu terbuka, wanita yang selalu ingin ditemuinya sejak beberapa hari yang lalu akhirnya muncul dari balik pintu dengan daster selutut berwarna pink tua, rambutnya diikat dengan asal sebab terlihat sedikit berantakan. Kafa tersenyum, ternyata Kia terlihat lebih cantik dengan bareface-nya. Kafa akui ini memang masih terlalu pagi untuk bertamu, sebab sekarang baru pukul delapan dan wajar jika tadi Kia terlalu lama membuka pintu karena sepertinya dia baru bangun.

"Hai." sapa Kafa.

Yang di sapa tak menyahut, dia justru mundur selangkah kemudian hendak menutup pintu kembali begitu melihat pria yang selalu dia hindari sejak hari itu ada di depannya sekarang. Tapi, dengan cepat Kafa mencegahnya.

"Kia... Please..." hanya itu yang keluar dari mulut Kafa sambil terus mencoba menahan pintu yang semakin keras Kia coba untuk tutup, entah Kafa memohon untuk apa, menjelaskan sesuatu agar Kia ingin bertemu dengannya? Tidak ada, tidak ada sesuatu yang harus Kafa jelaskan. Justru Kialah yang harus menjelaskan kenapa dia bersikap seperti ini.

Kia menghela napas. "Okay, di luar."

Kafa mengangguk, kemudian mundur beberapa langkah saat pintu terbuka sedikit lebih lebar. Kia keluar dari dalam, wanita mungil yang tinggi aslinya ternyata hanya sebatas lengan bahunya saat tak memakai alas kaki apapun itu kini duduk di bangku yang ada di teras.

Heavy RainfallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang