"Gimana kabar lo sama Desya sekarang? Masih betah?" tanya Alvin dengan senyuman mengejeknya.
Temannya yang satu ini memang sering menanyakan kabar hubungannya dengan Desya. Di tahun awal hubungan Arman dan Desya, Alvin secara terang-terangan menunjukkan rasa tak sukanya pada Desya. Bukan tanpa alasan ia berlaku seperti itu.
Sebagai sahabat Arman, ia ingin yang terbaik untuk sahabatnya itu. Ia hanya tak mengerti dengan wanita pilihan Arman kali ini. Seharusnya Arman bisa mendapatkan gadis yang lebih-lebih lagi daripada Desya menurutnya. Lalu, mengapa Arman malah lebih memilih gadis manja itu? Gadis yang tak bisa hidup mandiri dan selalu menyuruh Arman ini-itu. Alvin akui Desya memang manis dan imut. Tapi tetap saja, pria dewasa seperti Arman bukan sandingannya.
Hanya saja, ia bisa apa? Yang penting ia sudah memberi taunya dan semuanya kembali lagi pada keputusan Arman sendiri.
"Gue baik-baik aja sama Desya" jawab Arman santai.
"Lo gak capek tiap hari anter-jemput Desya? Kenapa lo gak sewa supir aja? Lo pacarnya kali, bukan asistennya dia"
Lama-kelamaan Alvin semakin nyolot dan menyudutkan Desya. Arman tau Alvin ingin yang terbaik untuk dirinya karena mereka itu sudah berteman lama dan seperti kakak-adik. Tapi ia ingin, sebagai sahabat, seharusnya Alvin mendukungnya.
"Udah deh Vin, bukannya gue gak suka lo ikut campur urusan gue. Cuma gue rasa lo gak perlu ngejudge Desya karena lo belum kenal dia, lo gak bisa ngejudge dia cuma karena lo liat dia itu anaknya manja. Dia berarti buat gue dan gue harap lo bisa hargain itu sebagai sahabat gue!" titah Arman dengan tatapan tajam yang menusuk dan membuat nyali Alvin yang tadinya ingin semakin mengompori malah menciut.
"Eitsss... udah dong, kita kan kesini mau rileks, jangan malah berantem kayak anak kecil gini dong" Doni yang sedari tadi hanya menyaksikan pembicaraan mereka akhirnya memilih turun tangan setelah dirasanya pembicaraan ini menjurus pada pertengkaran.
Arman merasa jengah, ia lebih memilih untuk tidak datang tadi saat diajak ngumpul kalau tau akhirnya akan begini.
"Mendingan gue cabut aja dulu. Dan gue harap vin, setelah ini lo bisa ngerti kalo gue sayang banget sama Desya! Jadi kalaupun ntarnya Desya nyakitin gue, itu resiko yang harus gue tanggung"
Setelah itu, Arman berdiri meninggalkan Alvin dengan wajah bersalah sekaligus menyesalnya dan Doni yang melongo karena ini pertama kalinya ia melihat Arman marah seperti ini. Seumur-umur berteman dengan Arman, Arman itu tipe orang yang selalu menyelesaikan masalah dengan kepala dingin. Dan melihat Arman seperti ini, cukup dapat membuatnya bergidik ngeri.
Setelah memastikan Arman benar-benar telah pergi, langsung saja Doni menyenggol orang disampingnya, yang menjadi penyebab kemarahan Arman.
"Wah parah, Arman beneran marah. Lo sih pake acara ngejelek-jelekin Desya! Lo tau sendiri kan gimana si Arman udah tergila-gila ama itu cewe. Seharusnya lo gak usah ngurusin hubungan dia sama Desya, Arman itu sensitif banget kalo udah nyangkut masalah Desya" sungut Doni berapi-api.
Alvin menghela napasnya. Ya, memang benar yang dikatakan Doni. Seharusnya ia lebih bisa menjaga omongannya dan menahan dirinya untuk tidak secara blak-blakan berkata seperti itu mengingat Arman sangat mencintai kekasihnya itu. Tapi tetap saja naluri lelakinya masih mengalahkan hatinya sendiri. Alvin tetap tak mau mengakui kesalahannya.
"Ya elah, emangnya salah kalo gue ngasih tau Arman? Gue itu mau dia sadar Don kalo Desya itu bukan yang terbaik buat dia! Sebagai sahabatnya, gue gak terima Arman tiap kali diperlakuin Desya seenaknya. Nganter-jemput dialah, nemenin shoppingnya! Sampe apapun dia selalu nyuruh Arman. Gue pengen Arman tuh gak dibutain sama cinta!"
Beginilah kalo dua-duanya sama-sama keras kepala. Yang satu sensitifnya minta ampun, yang satunya lagi sudah salah, masih tidak mengakui. Jangan sampai pertemanan mereka yang sudah terjalin selama bertahun-tahun harus rusak hanya karena masalah sekecil ini saja.
Doni mengerti maksud Alvin. Dari awal saat Arman menyampaikan niatnya ingin memacari Desya, mereka semua fine-fine saja. Sampai dimana saat Arman dan Desya mulai menjalin hubungan. Semenjak itu Arman sudah jarang berkumpul lagi bersama mereka, bahkan beberapa kali membatalkan janji temu mereka.
Alasannya selalu sama, sibuk. Tapi tak taunya ia malah pergi bersama Desya. Bahkan mereka sempat berpikir mungkin saja Arman ini sudah diguna-guna sampai begitu sayangnya dengan Desya. Sebagai sahabat, tentu saja baik Doni maupun Alvin merasa tak rela jika Arman bertindak semakin menjauh dari mereka walau secara tak disengaja. Dan Alvin merasa bahwa semua itu dikarenakan Desya. Bagi Alvin, Desya itu penyebab renggangnya persahabatan mereka.
Doni memang awalnya berpikiran sama dengan Alvin. Tapi tetap saja, jika dipikir-pikir, hanya Arman lah yang bisa menentukan yang terbaik untuk dirinya sendiri.
Dan orang yang dipilih Arman adalah Desya. Karena itu, Doni menyadari kalau tugasnya disini adalah sebagai seorang sahabat, yang harus mendukung Arman sekaligus memberi pengertian pada Alvin.
***
Untuk menenangkan dirinya, Arman memilih menemui penjinaknya yaitu Desya. Gadis itu benar-benar bisa membuatnya seketika menjadi lebih rileks.
"Kakak kenapa sih? Kok dari tadi manja banget" ucap Desya bingung sekaligus senang, kan jarang-jarang Arman mau manja-manja begini, biasanya juga dia yang manja ke Arman.
"Enggak, lagi banyak urusan di kantor aja" bohong Arman masih dengan kepalanya yang berbaring di atas paha Desya.
Mana mungkin dia tega mengatakan kalau teman-temannya tak menyukai Desya karena Arman yakin Desya pasti akan merasa sedih.
"Oh. Makanya kakak itu jangan sibuk kerja terus, sekali-sekali refreshing kek!" omelnya.
"Ya kalo gak kerja, mau dapet uang dari mana?"
"Iya juga sih" Desya membenarkan.
Desya mengelus-ngelus rambut Arman yang terasa kasar di tangannya karena gel rambut yang dipakai pria itu. Desya menatap lekat-lekat wajah Arman yang berbaring di bawahnya dan sedang memejamkan mata. Aishhh... Arman sungguh terlihat menggemaskan sekarang.
"Kak, kakak itu ternyata ganteng juga ya" puji Desya blak-blakan lalu mengecup kilat bibir Arman.
Arman langsung membuka matanya saat mendapat kecupan gratis dari Desya. "Kamu baru nyadar sekarang?"
Desya terkekeh. "Enggak sih. Biasanya itu kan kalo kakak lagi gak tidur, kakak itu keliatan sombong banget mukanya, jadi kadar gantengnya berkurang. Tapi pas ngeliat kakak mejemin mata tadi, ternyata kakak itu ganteng banget"
Arman mencebikkan bibirnya. Selalu saja Desya mengomentari sikap angkuhnya itu. Lagian mau bagaimana lagi? Wajahnya memang sudah ada dari sananya begitu karena menurun dari ibunya. Tak mungkin kan setiap saat ia harus tersenyum manis hanya agar tak terlihat angkuh.
"Kak, kakak awas dulu, aku kebelet pipis nih, malah lagi dateng lagi, belum ganti pembalut" ujar Desya tanpa merasa malu karena memang sudah terbiasa. Selama 4 tahun berpacaran, tidak ada lagi istilah dalam kamus mereka jaga image di depan pasangan masing-masing.
Arman bangkit dari posisinya lalu duduk membiarkan Desya berdiri untuk berlari ke dalam toilet lalu kembali membaringkan tubuhnya lagi dengan kepala menyandar pada pegangan sofa.
Ting!
Handphone Desya yang terletak di meja depannya berbunyi dan membangkitkan rasa kepo yang ada dalam diri Arman. Memang Arman sering sekali diam-diam menjelajahi isi handphone Desya tanpa diketahui oleh pemiliknya.
Arman mengernyitkan keningnya dan rahangnya tampak mengeras saat melihat notifikasi yang muncul.
'Kiel Orlando' telah menambahkan Anda sebagai teman
KAMU SEDANG MEMBACA
My Possessive Boyfriend(END)
RomanceGimana jadinya kalo seorang cewe imut, kekanakan dan polos kayak Desya, dikekang sama pacarnya yang selalu bikin dia gemes sendiri? Pacarnya Desya itu pengacara, jadinya sifatnya berbalikan banget sama Desya. Tegas, dewasa, bijak dan yang jelas gak...