Sejak pagi tadi, Desya sudah uring-uringan meskipun tak ada yang menganggunya. Apalagi penyebabnya kalau bukan kejadian kemarin sore, yang membuat dirinya tak bisa tidur tenang semalaman sampai kantung matanya hitam begini.
Setelah mendengar perkataan Ara yang entah mengapa memunculkan perasaan tak sukanya pada wanita bernama Rini itu. Desya juga langsung kehilangan moodnya untuk menemani Arman meeting ataupun mengajak Ara bermain dan membatalkan acara makan malam keluarganya lalu menyuruh Arman untuk mengantarkannya pulang dengan alasan mendadak tak enak badan.
Desya tau Ara memang tak bersalah, tapi tetap saja dirinya tak bisa jika harus pura-pura terlihat baik-baik saja setelah itu. Meski kebenarannya belum dapat dipastikan, tapi Desya yakin kalau Ara tak berbohong karena ketika ditanyakan kemarin, Ara sendiri yang bercerita kalau Rini pernah bilang begitu padanya.
"Des..." Kiel melayangkan tangannya di hadapan wajah Desya yang sedang melamun seraya menopang dagunya untuk menyadarkan lamunan gadis itu.
Dikejutkan begitu membuat Desya gelagapan sendiri jadinya. "Hah?Aaa... Apaaa...?" jawab Desya kikuk mendapati Kiel yang berdiri menjulang di depan kubikelnya.
Kiel geleng-geleng kepala dengan senyuman tipisnya. "Ya ampun, masih siang begini masih bengong aja, emangnya gak ada kerjaan lagi ya?"
Desya mengedikkan bahunya. "Gak ada, hari ini agak santai, tumben banget gak dikasih banyak kerjaan"
"Oh..." Kiel manggut-manggut sebelum akhirnya membuka suara kembali. "O iya, ntar malem ada acara makan-makan dari kantor, kamu ikut kan?"
"Acara makan apa? Kok tumben?" Desya tampak tak mengetahui mengenai acara yang dibicarakan Kiel itu.
"Iya, soalnya mbak Susi yang account officer itu bakalan resign jadi nanti acara perayaan sekaligus ucapan terima kasih gitu karna dia udah kerja disini selama tujuh tahun kalo gak salah"
Desya berpikir sejenak. Sebenarnya ia agak kurang nyaman untuk ikut acara tersebut karena dia kan anak baru disini, jadi untuk ikut acara perayaan kantor seperti itu, tentu saja akan membuatnya merasa asing. Apalagi yang ia kenal di kantor ini hanya Kiel saja dan beberapa anak yang juga magang bersamanya, itupun tak terlalu dekat.
"Satu kantor wajib ikut kak?"
"Sebenernya gak wajib sih. Cuma kan ini kesempatan bagus juga buat ajang pengenalan diri sekaligus nyari relasi. Apalagi kamu kan baru mulai kerja, jadi sekalian nyari peluang gitu. Pinter-pinter bawa diri aja, mana tau ntar nilai magang kamu tinggi kan?" rayu Kiel memprovokasi.
Benar juga sih apa yang dikatakan Kiel pikirnya. "Ya udah deh, aku ikut. Perginya langsung pas kerja atau balik rumah dulu?"
"Acaranya sih katanya jam tujuh gitu. Tapi pasti ngaret sih biasanya. Denger-denger mereka pulang rumah dulu baru abis itu ke restorannya. Cuma kamu ntar ribet gak kalo pulang dulu lagi?"
Desya menjawab dengan nada sedikit ragu. "Iya sih bener juga"
"Atau aku anter kamu pulang aja? Abis itu aku tungguin terus berangkat bareng? Lagian kan kamu masih belum terlalu kenal sama anak-anak kantor" tawar Kiel berbinar-binar penuh harapan.
Ajakan yang dilontarkan Kiel membuatnya tampak ragu. Seperti ada yang mengganjal dan terasa aneh jika dirinya diantar oleh pria lain di acara yang diadakan pada malam hari disaat ada pacarnya sendiri yang bisa mengantarnya.
Kalau biasanya, Desya pasti akan langsung lebih memilih untuk diantarkan Arman.
Tapi berbeda untuk kali ini. Ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya dan mengganggu pikirannya yang membuat Desya malas untuk bertemu Arman saat ini.
"Boleh sih, tapi aku balik kantor sendiri aja. Baru nanti kakak jemput di rumah aku, gak perlu nungguin di rumah soalnya bakal lama hehehe" terima Desya dengan ajakan pergi bareng itu tapi ia menolak secara halus ajakan Kiel yang ingin menungguinya di rumah.
"Oke, ntar kabarin aja kalo udah siap, biar aku otw"
***
"Kamu udah baikan Sya?" tanya Arman khawatir saat mendapati panggilannya yang langsung tersambung pada gadis itu.
"Udah" jawab Desya berusaha terdengar biasa saja.
Arman menghembuskan napasnya lega. "Syukur deh. Semalem pas balik dari meeting sekitaran jam sepuluh gitu aku nyamperin kamu ke rumah, tapi kayaknya kamu udah tidur karna aku ketok-ketok, kamu gak nyahut. Terus aku telpon juga gak diangkat. Paginya aku telpon lagi, handphone kamu masih mati. Jadi aku baru bisa nelepon jam makan siang begini. Sorry ya siang ini aku gak bisa nyamperin kamu" ungkap Arman dengan suaranya yang merasa bersalah dan menyesal.
"Iya gak apa-apa kak. Maaf semalem aku gak buka pintu soalnya ketiduran, capek banget"
"Kalo ntar kamu masih ngerasa gak enak badan, kamu kasih tau aku ya, biar kita ke dokter. Seharusnya kamu itu jangan kerja dulu Sya" ucap Arman dengan lembut.
Perhatian Arman yang seperti ini yang bisa membuat Desya menyayangi pria itu dan rasa kesal di hatinya seketika langsung hilang. Rasanya tak tega jika ia harus mendiami Arman disaat pria itu tak salah apa-apa.
"Iya kak, tenang aja, aku udah baikan kok. O ya kak, udah dulu ya, ini aku mau makan siang dulu, ntar aku telpon lagi. Byeee..."
"Oke bye" ujar Arman tersenyum setelah akhirnya ia bisa mengetahui kabar gadis yang dari semalam dikhawatirinya itu. Hatinya merasa tak tenang jika belum mendapat kabar pasti tentang Desya.
"Hai Man" sapa Rini yang muncul tiba-tiba pada Arman yang masih menyunggingkan senyuman setelah dirinya selesai menelepon Desya.
Rini melangkah masuk dengan beberapa map yang ia genggam dan duduk di sofa tempat biasanya mereka berdiskusi tentang proyeknya.
"Mana Reno? Kalian gak berangkat bareng?" Arman berdiri dari kursinya dan berdiri lalu duduk di seberang sofa tempat Rini duduk.
"Mungkin bakal agak telat datengnya karna dia baru jalan dari Bintaro sana. Emang akhir-akhir ini Reno agak sibuk karna bolak-balik nganterin mamanya yang tiap hari ke rumah kakaknya yang baru lahiran"
Arman mengangguk saja lalu segera membuka laporan kerja tersebut dan berkutat dengan kertas-kertas itu. Arman ingin segera menyelesaikan proyek pembangunan kafe mereka ini agar waktu luangnya dapat kembali lagi seperti dulu.
Rini yang duduk di hadapan Arman tampak gugup serta gelisah tanpa alasan yang jelas. Beberapa kali wanita itu tampak meneguk salivanya dan membasahi bibir untuk menghilangkan kegugupan sekaligus mempersiapkan diri untuk mengungkapkan sesuatu yang sudah dipikirkannya secara matang-matang.
Akhir-akhir ini ia selalu dilanda kebimbangan dan hatinya selalu merasa nyeri semenjak dirinya terseret dalam proyek kerja bersama Arman, yang membuatnya merasa senang namun sedih disaat yang bersamaan. Dan Rini tak bisa begini terus. Ia bertekad lebih baik jujur agar hatinya dapat merasa lega. Dan setelah itu, ia akan benar-benar pasrah dengan segala resiko yang akan ditanggungnya nanti.
Rini memandangi jarum jam yang terus berputar pada jam dinding ruangan ini dan mempersiapkan dirinya mengingat keterbatasan waktu yang ia miliki sebelum nantinya akan ada Reno yang menghambatnya.
"Man, aku mau ngomong sesuatu" ucapnya dengan jantung yang berdegup kencang dan keringat dingin terasa menyelimuti tubuhnya. Tangan dan kakinya tak bisa hanya diam di tempat sebagai pengalihan agar rasa gugup yang dilandanya ini dapat berangsur hilang.
Apalagi saat ia harus bertatapan dengan Arman yang sekarang memandang lurus padanya dengan kening yang berkerut, detak jantungnya malah semakin tak karuan. Ruangan ini terasa hening dalam sekejap dan otaknya terus menyuruhnya untuk berhenti namun hatinya malah menyuruh yang sebaliknya.
"Apa?"
Sampai akhirnya ia lebih memilih untuk mengikuti kata hatinya dan melanjutkan apa yang ingin dikatakannya dari sebelumnya.
"Saya suka sama kamu"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Possessive Boyfriend(END)
RomansaGimana jadinya kalo seorang cewe imut, kekanakan dan polos kayak Desya, dikekang sama pacarnya yang selalu bikin dia gemes sendiri? Pacarnya Desya itu pengacara, jadinya sifatnya berbalikan banget sama Desya. Tegas, dewasa, bijak dan yang jelas gak...