Arman menyakitinya.
Itulah sekarang yang dirasakan Desya ketika Arman meneleponnya untuk mengabari kalau ia sudah berada di bandara dan akan berangkat ke Palembang untuk beberapa hari ke depan, bahkan setelah Desya mencurahkan kemarahannya dan mati-matian melarang Arman.
Tadi pagi, Arman berbicara seolah-olah tak terjadi apapun kemarin. Tak sampai dalam hitungan detik setelah pria itu menyampaikan maksudnya, Desya langsung memutuskan sambungan telepon mereka lalu mematikan handphonenya karena benda itu tak berhenti berdering, dengan bertubi-tubi panggilan masuk yang berasal dari pria itu.
Rasa marah langsung menjalar naik, mengalir di sekujur badannya. Desya merasa tak terima sekaligus menganggap, bila Arman telah menyepelekan hubungan mereka dan tak menghargainya. Maka dari itu, Desya pun tak akan membiarkan masalah kali ini berlalu begitu saja.
"So, kenapa lagi kali ini? Kenapa lo ajak gue ketemuan setelah lo udah mutusin untuk ngejauhin kita semua demi Arman?" ucap Uli menyadarkannya kembali pada tujuan awalnya mengajak gadis itu bertemu.
Desya mengernyitkan keningnya, ia tak mengerti dengan pemikiran gadis di hadapannya ini. "Li, please... Gue tau lo yang paling ngertiin gue dan yah..., gue memang milih Arman. Tapi kalo soal Maya dengan Ranti, gue emang milih buat ninggalin mereka tapi gue tetep pengen temenan sama lo! Lo temen gue dari SMA dan gue tau sebenernya lo gak sejahat itu buat mutusin hubungan pertemanan kita cuma karna hal sepele begini"
Ucapan Desya tepat mengena di hatinya. Ia sama dengan Desya, ia ingin sekali persahabatannya dengan Desya tetap baik-baik saja. Tapi, entah kenapa setiap kali Maya dan Ranti membicarakan soal Desya, seolah ia mudah sekali terhasut dan akhirnya terpengaruh serta ikut-ikutan menyudutkan Desya.
Uli menghela napasnya berat. Ia mengaku kalau ia tak akan bisa membenci Desya karena memang menurutnya Desya tak sepenuhnya salah.
"Well, I can't lie to you, because you know me very well..." ucapnya terhenti dengan nada menggantung. Namun sesaat setelahnya Uli tersenyum lebar seraya mengangkat kedua alisnya. "My best friend..." sambungnya merentangkan kedua tangannya menyambut Desya.
Senyum tersungging lebar di bibir Desya saat melihat temannya menawarkan pelukan persahabatan yang sudah lama tak dirasakannya. "Of course"
Setelah berpelukan layaknya orang yang sudah berpisah bertahun-tahun, mereka mengurai pelukannya lalu kembali duduk pada posisi masing-masing.
"Jadi tujuan utama lo ajak gue ketemuan hari ini apa?"
Desya menceritakan semuanya pada Uli tanpa ada yang ditutupinya. Perasaannya, segala kekhawatirannya sampai permasalahannya dengan Arman sekarang.
"Gue rasa lo sama dia sama-sama salah. Agak keterlaluan kalo lo ngelarang dia berangkat padahal Arman sama sekali gak ngelakuin hal yang bisa buat lo curiga. Bahkan dia cerita ke lo tentang si janda yang nembak dia itukan? See? Gak ada yang perlu lo khawatirinlah. Kalo emang dia mau selingkuh, dia gak bakalan cerita kali. Lagian Arman gak sebodoh itu buat selingkuh sama cewe yang udah punya buntut, rugi bandarlah dia..." Uli mengibaskan tangannya, mengisyaratkan bahwa tak perlu ada yang dikhawatiri.
"Tapi seharusnya dia pengertian sih, maksudnya ya bener kata lo, cewe mana yang gak khawatir cowonya pergi sama cewe yang suka sama dia walau gak cuma berdua aja" Uli tampak ragu dan bimbang untuk kembali membela Arman setelah dipikir-pikir.
Desya menjentikkan jarinya. "Nah itu dia, gue kan takuttt Li kalo Arman digait sama cewe lain" ujar Desya dengan rengekan khas anak kecilnya.
"Kalo gue jadi lo sih, ya bakal kecewa juga kalo cowo gue malah tetep pergi walau dia tau kita jelas-jelas gak bolehin" Uli mengubah haluannya, menjadi lebih berpihak pada Desya sekarang.
"Jadi gue harus gimana dong?"
"Emang kalo gue suruh lo maafin dia, lo bakal nurut?" tanya Uli dan Desya langsung menggeleng. Enak saja, kan sudah dia bilang tadi kalau dia tak akan memaafkan Arman dengan mudah kali ini.
Bukan hanya itu saja. Buat Desya, Arman kali ini benar-benar sudah keterlaluan dan kemarahannya bukan hanya semu semata.
"Terus kalo gue suruh lo mutusin dia, lo mau?" tanya Uli yang membuat Desya langsung membelalakkan matanya.
Uli tertawa keras sambil berdecak menggeleng-gelengkan kepala. "Ckckck... Desya Desya. Kalo gitu ngapain lo nanya gue? Lo yang tau apa yang harus lo perbuat. Dan gue cuma bisa support lo dengan keputusan yang lo buat! Kalo sekarang lo emang lebih pilih buat jauhin Arman sementara, just do it!"
Ya. Sepertinya Desya akan tetap kembali pada keputusan awalnya. Ia akan menjauhi Arman sampai pria itu kapok dan tak mengulangi kesalahannya lagi.
Sementara ini, tampaknya dia juga butuh refreshing berlibur sejenak dan meminta cuti untuk beberapa hari. Ia ingin menenangkan pikirannya sekaligus hatinya yang lelah karena permasalahan dalam hubungannya tak kunjung selesai. Setelah itu, barulah Desya akan berpikir langkah apa yang harus ia ambil selanjutnya.
***
Arman mengacak rambutnya frustasi. Sejak di bandara tadi sampai sudah tiba di hotel, pria itu terlihat seperti orang linglung. Dari tadi Arman meremas tangan gelisah di tempat duduknya, berkutik dengan handphonenya sembari berulang kali menelepon orang yang sama dan selalu berakhir dengan suara operator yang menjawabnya.
Tak tau sudah berapa kali pria itu mendesah dan mengusap wajah kebingungan sekaligus merasa panik.
"Angkat dong Sya" rapal Arman harap-harap Desya mengangkat panggilannya yang berujung sama saja.
"Bro, ayo buruan siap-siap. Sore ini juga kita langsung ke lokasi!" ucap Reno baru selesai mandi dan memegangi handuk kecil yang diusapkannya ke rambut agar cepat kering.
"Entar dulu Ren. Gue masih nunggu Desya ngangkat telepon gue dulu. Udah dari tadi pagi gue telepon tapi gak diangkat-angkat"
Reno menggeleng-gelengkan kepalanya, menatap kasihan pada Arman lalu mendekati pria yang sedang duduk di tepi ranjang itu. "Kenapa lagi kali ini?"
"Masalah Rini. Desya marah sama gue karena dia gak ngebolehin gue berangkat kalau ada Rini"
Reno sudah tau tentang perasaan Rini pada Arman karena Rini sendiri yang menceritakannya pada Reno dan Arman juga sempat mengatakannya.
"Ya elah! Lo sih, jadi cowo kelewat jujur! Kadang ada saat dimana kita itu harus bohong demi kebaikan bro!" sewot Reno tak mengerti dengan jalan pemikiran para perempuan. Kalau jujur, mereka akan sewot. Tapi kalau bohong, mereka sewot juga? Jadi bagusnya gimana dong?
"Demi kebaikan apaan. Gue gak suka dibohongin makanya gue juga nyoba untuk gak bohong"
"Tapi jangan kelewat polos jugalah, jadinya begini kan!" tukas Reno tetap menyalahkan kejujuran Arman.
Arman mengusap keningnya dengan tangan satunya lagi yang masih sibuk mengirimi pesan pada Desya. "Jadi solusinya gimana sekarang? Jarang-jarang dia sampe diemin gue berjam-jam gini" Arman merasa frustasi.
"Solusinya sekarang lo mandi dulu, ganti baju biar seger dan gak kumel begini. Terus kita pergi liat lokasinya, cepet selesain, cepet pulang terus bisa ketemu Desya secepatnya kan?" Reno menunjuk ke arah kamar mandi menggunakan kepalanya.
Arman menyiniskan matanya tapi tak urung ia berdiri juga lalu melangkah masuk ke kamar mandi. Berharap setelah ini, pikirannya dapat menjadi lebih jernih dan tentunya tak lupa dengan harapan, Desya ingin mengangkat panggilan masuk darinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Possessive Boyfriend(END)
RomanceGimana jadinya kalo seorang cewe imut, kekanakan dan polos kayak Desya, dikekang sama pacarnya yang selalu bikin dia gemes sendiri? Pacarnya Desya itu pengacara, jadinya sifatnya berbalikan banget sama Desya. Tegas, dewasa, bijak dan yang jelas gak...