Butuh waktu beberapa detik untuk Arman mencerna perkataan Rini barusan yang tak dapat diterima oleh logikanya. Semuanya terasa sangat ambigu dan entah kenapa hatinya merasa tak suka dan tak terima.
Rini menatap Arman menanti-nanti. Ia bukannya ingin merebut Arman, ia hanya mau mengungkapkan perasaannya. Tak salah bukan? Semua orang punya hak untuk mengutarakan perasaannya, pikirnya.
"Maaf? Maksudnya apa ya?" tanya Arman memastikan dan pura-pura tak mengerti walau dia sudah mendengar dengan jelas sebelumnya.
Nyali Rina tiba-tiba menciut. Wajah penasaran yang ditampilkannya sebelumnya untuk menanti jawaban Arman digantikan dengan raut kecewa yang berusaha tak diperlihatkannya.
Kegugupannya bertambah dua kali lipat sekarang. "Ma...maksud saya, saya ada rasa sama kamu. Saya cuma mau ngungkapin perasaan saya aja, tapi saya juga gak berharap lebih kalo kamu akan bales perasaan saya" ucap Rini dengan suara dan kakinya yang bergetar.
Arman mengerutkan keningnya tak suka. Selama ini, ia hanya menganggap Rini sebagai partner bisnisnya dan ia pikir wanita itu beranggapan sama dengannya. Tapi mendengar ucapan wanita itu barusan membuktikan kalau dugaannya selama ini salah.
"Maaf kalau perkataan saya akan menyakiti kamu tapi saya lebih memilih begitu, daripada harus menyakiti hati pacar saya!" ujar Arman tak terbantahkan dan menjatuhkan hati Rini saat itu juga.
"Jadi saya tegaskan disini kalau saya akan mengganggap kalau yang kamu katakan tadi hanya bercanda saja. Walau sekalipun kamu bilang kamu gak berharap saya balas perasaan kamu pun, saya rasa tetep aja gak pantes untuk kamu ngungkapin perasaan suka ke orang yang udah punya pacar kayak saya. Itu hanya pendapat saya aja dan kalau kamu punya pemikiran lain, itu terserah kamu. Saya harap kita tetep bisa jadi partner bisnis seperti biasa dan saya juga tidak ingin punya hubungan yang melebihi dari itu!" Arman berkata tegas dan tatapannya tajam menusuk. Detik itu juga, Rini benar-benar menyesal sekaligus sakit hati ditolak secara telak. Jangankan membalas perasaannya, menerima ungkapan perasaannya saja tidak.
Arman kembali menatap laporan yang ditinggalkannya beberapa menit lalu, berusaha untuk bersikap biasa layaknya sebelum Rini mengungkapkan perasaannya.
Rini menundukkan kepala, ia tak menyangka Arman bisa bersikap seolah-olah tak mendengar apa-apa disaat butuh pertimbangan beribu kali dan nyali besar untuk mengungkapkan rasa sukanya.
"Man, apa kamu gak bisa hargai perasaan saya sedikitpun?" ucap Rini dengan tatapan terlukanya yang membuat Arman mendongakkan kepala.
"Saya rasa jawaban saya barusan itu karna saya masih mempertimbangkan kamu sebagai rekan bisnis saya. Kalau tidak, mungkin saya akan langsung pergi tanpa menjawab apapun!" ucap Arman tak terbantahkan dan langsung berdiri meninggalkan Rini sekaligus dengan hatinya yang sudah hancur lebur di ruangan sunyi itu.
***
"Ini, dimakan dagingnya biar badan kamu gak mungil-mungil begini terus" celoteh Kiel mengambil sepotong ayam goreng mentega yang terletak di tengah-tengah meja karena ia tau pastinya Desya akan malu-malu untuk mengambil makanannya sendiri.
Desya memandang ke kiri dan ke kanan merasa tak nyaman saat beberapa teman sekantornya yang duduk di dekat mereka menatap ke arahnya dengan menahan senyuman.
"Eeeh... iya, nanti aku ambil sendiri aja kak" respon Desya dengan kikuk.
Kiel mengangguk lalu lanjut menyantap makanannya sendiri.
"Udah la, kalian jangan malu-malu, satu kantor juga sudah tau kalo kalian pacaran hahaha" canda Pak Budi, salah satu senior mereka di kantor dengan tawa yang menggema.
"Hah? Oh, enggak pak. Saya sama Desya cuma temenan baik aja. Desya sendiri sudah punya pacar, jadi gak mungkinlah kalau saya sama dia pacaran, bapak ini ada-ada saja" bantah Kiel tak mau sampai ada gosip hoaks yang menyebar di kantor mereka dan membuat Desya merasa tak nyaman nantinya.
Desya tersenyum canggung. "Iya, betul pak"
"Wahhh, sayang banget ya. Saya juga kiranya kamu sama Kiel pacaran, habisnya kalian di kantor deket banget kan. Cocok juga, yang satu cantik, yang satu ganteng" celetuk Linda yang duduk di sebelah Pak Budi menambahkan.
Kiel hanya tertawa saja mendengar ucapan dari teman-teman kantornya itu. "Enggak mungkinlah pak saya pacarin pacar orang. Kalo jodoh juga gak akan kemana" ujar Kiel tertawa-tawa.
"Oh iya, ngomong-ngomong, tentang sponsor dari PT. Emas Makmur itu kita dapet kan?" tanya Kiel berusaha mengalihkan topik pembicaraan. Kiel cukup peka untuk menyadari kalau Desya sedari tadi bergerak tak nyaman di sebelahnya yang membuat Kiel merasa tak enak saat teman-teman kantornya membicarakan hubungannya mereka.
Untung saja Kiel berhasil menghentikan pembicaraan teman kantornya yang penasaran dengan hubungannya dan Desya karena selama beberapa jam itu, mereka membahas persoalan kantor yang membuat Desya dapat bersikap seperti biasa lagi.
Desya tak suka menjadi topik pembicaraan orang-orang yang tak begitu dikenalinya. Tapi ia hanya diam saja karena tak bisa menunjukkan rasa tak sukanya secara terang-terangan.
Kalau biasanya Desya secara terang-terangan mengatakan kalau ia bosan jika harus mendengar pembicaraan orang-orang. Tapi kali ini, mau tak mau Desya harus duduk manis, menunggu sampai mereka selesai dengan obrolannya.
Ponselnya bergetar menampilkan nama Arman yang menelepon. "Kak, aku permisi ke toilet dulu ya" pamit Desya berbisik pelan pada Kiel.
"Mau ditemenin?" tanya Kiel tampak khawatir.
Desya tersenyum menggeleng dan Kiel tak mau memaksanya. "Oke, hati-hati ya"
Sesampainya di toilet, Desya menggerutu melihat Arman yang tak sabaran meneleponnya sampai ada panggilan tak terjawab sebanyak tujuh kali. Pria itu memang sangat pantang menyerah.
"Ha---" jawabnya terhenti karena Arman yang langsung memotong dengan cepat dan pria itu terdengar sangat tak sabaran.
"Halo Sya? Kamu lagi dimana? Kok telepon aku gak diangkat? Kamu baik-baik aja kan?" cecar Arman tanpa henti dengan satu kali tarikan napas.
Desya tersenyum tanpa bisa dicegahnya. Perhatian Arman selalu mampu membuatnya merasa disayangi. Untung saja saat ini Desya berdiri di luar restoran jadi tidak ada yang akan melihatnya tersenyum sendiri sambil teleponan layaknya orang tidak waras.
"Aku lagi ikut acara kantor. Sorry lupa ngabarin kakak. Kakak kenapa nelepon?"
Terdengar helaan napas lega dari Arman. "Ya ampun, aku gak mau tau ya Sya, besok kalo kamu mau pergi harus kabarin aku pokoknya!" titahnya.
Desya tertawa geli. "Iya iya. Jadi kenapa kakak nelepon aku?" tanya Desya ulang.
"Aku dari tadi nunggu kamu di depan rumah. Aku pencet belnya tapi gak ada orang, jadi aku telepon kamu. Soalnya aku kan kangen... Akhir-akhir ini kita udah jarang ketemu" rengek Arman dengan manja yang membuat Desya terkikik geli. Padahal biasanya dia yang manja, kenapa sekarang malah pria itu yang terkena virusnya?
Desya berkata dengan malu-malu. "Ih... aku juga kangen sama kakak"
Seulas senyuman terbit di bibir Arman. "Oh iya, kamu makannya dimana? Kapan selesainya? Biar aku jemput aja"
"Gak usah kak. Papa suruh aku nginep malem ini di rumahnya. Katanya udah lama aku gak ketemu dia dan gak main ke rumah. Sekalian nanti mau makan malem di luar jadi papa yang jemput" tolak Desya mengingat ayahnya sempat menelepon tadi sore.
Arman harus menyimpan rasa kecewanya karena lagi-lagi hari ini ia tak bisa bertemu dengan Desya.
"Hem, ya udah deh, kamu hati-hati ya. Kabarin aku kalo udah dijemput papa kamu nanti" ujar Arman tak bisa menutupi rasa kecewanya.
"Iya, kakak juga. Hati-hati jalan pulangnya, udah malem juga kan?"
Setelah selesai melepas rindu masing-masing, baik Arman maupun Desya sama-sama merasa mood mereka kembali baik.
Akhir-akhir ini, hubungan mereka terasa tak seperti biasanya. Memang tak terlihat secara langsung tapi baik mereka berdua dapat merasakannya. Seperti ada sesuatu yang menganggu pikiran mereka akhir-akhir ini walau Arman maupun Desya tak tau hal itu apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Possessive Boyfriend(END)
RomanceGimana jadinya kalo seorang cewe imut, kekanakan dan polos kayak Desya, dikekang sama pacarnya yang selalu bikin dia gemes sendiri? Pacarnya Desya itu pengacara, jadinya sifatnya berbalikan banget sama Desya. Tegas, dewasa, bijak dan yang jelas gak...