"Vin, gue ngerasain ada yang gak beres nih sama Dito." Salma masih mengaduk - aduk jus yang daritadi dipesannya. Ia masih belum juga untuk meminumnya.
"Maksud lo?" Vina menatap serius.
Saat ini mereka sedang berada di kafe sebuah mall. Salma yang meminta Vina untuk bertemu. Permintaan mendadak ini menbuat Vina tak bisa mengelak. Pasalnya, Salma terus memaksa Vina untuk datang -- ada hal penting yang ingin dibicarakan, katanya. Ternyata, hal penting itu tentang cowok yang bernama Dito.
"Gue udah gak tau lagi harus gimana sama Dito. Gue ngerasa kita udah makin deket di chat."
"Hayolohhhh... Terus kenapa?" Vina menyantap makanan didepannya kini.
"Ih, lo masih gak ngerti juga? Guw sama dia udah chattingan setahun Vin, dan kita masih tetep kayak gini terus. Gak tau sampe kapan dan gimana kelanjutannya." Salma mensenguskan nafasnya. Tangan kanannya menopang dagu, dan memutarkan bola matanya secara bulat.
Vina menaruh sendok yang dipegangnya. Lalu meraih jus miliknya dan meminumnya. Vina menghembuskan nafas sejenak, dan berdehem. "Ekhem. Mending lo tanya deh sama dia. Biar lo gak digantungin terus. Lo Kasih kode kek ke dia. Jangan diem doang, Sal."
"Gue udah Kasih kode sampe mampus, tetep aja dia gak ada kepastian. Capek banget rasanya. Tapi kalo gue nanya kepastian ke dia gak ejak sih Vin."
"Gengsi maksud lo? Denger ya, Salma, kalo lo mentingin gengsi, lo bakal gak tau kepastian hubungan lo gimana. Emangnya lo mau kayak gitu terus? Nggak kan?"
"Hehe. Gak mau sih. Tapi gimana ya, masa cewek nanya duluan. Gak banget deh."
"Heh. Daripada lo nyesek mulu kalo liat dia sama cewek lain. Mau cemburu gak berhak, mau ngelarang juga bukan pacar. Hahaha. Udah deh gue aja sini yang nanya, kasih kontak dia ke gue." Vina merebut hp Salma yang tergeletak di meja.
Baru saja Vina membuka layar kunci di hp Salma, hp itu langsung direbut kembali oleh Salma. "Ih jangan ah. Gue aja deh yang nanya sendiri. Tapi kalo nanti gue sama dia ngejauh gimana? Gue gak mau jauh."
"Ya resiko."
***
Berkali – kali Salma memikirkan apa yang disarankan oleh Vina. Ia masih termenung di meja belajarnya dengan posisi tangan yang memangku dagu. Berhadapan dengan laptop yang sedang menyalakan drama korea. Matanya terus memandang langit – langit kamar. Laptopnya masih terus menyala tanpa ditonton.
"Kenapa sih lo bikin gue kepikiran terus, Dit?"
Salma mengubah posisi kepalanya. Kali ini ia menidurkan kepalanya diatas meja belajar dengan posisi miring. Jarinya mengetuk – ngetuk meja tanpa irama.
"Kasih gue kepastian plis."
Ia memejamkan mata sebentar lalu membuka matanya kembali dan mengangkat kepalanya dari meja. Ia mengambil pena dan buku hariannya. Kali ini pikiran dan hatinya benar – benar kacau. Ia ingin mengungkapkan semua curahan hatinya diatas buku harian itu. salma lalu mulai menggerakkan tangannya untuk menulis sebuah kata demi kata.
Untuk Dito,
Saya masih ingat betul bagaimana kita bertemu. Saling berkenalan dan bertatap muka. Saya tahu itu hanya sebatas perkenalan saja. Tidak ada kesan menarik. Semua terlihat biasa saja.
Saya masih ingat bagaimana anda memulai percakapan diantara kita. Bagi saya, itu awal percakapan yang tidak masuk akal. Tapi, entah mengapa saya tidak menyadari itu, dan baru menyadarinya setelah sekian lama kita berbincang. Berbincang tentang dua ekor cicak yang saling berkejaran. Berbincang tentang bahtera yang terombang ambing dilautan. Juga tentang senja yang menyelimuti dunia.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Rainbow is Over
Teen Fiction"Jika ingin bermain, maka keduanya harus bahagia. Tapi, jika salah satunya tidak merasakan bahagia, bagaimana bisa dikatakan bermain?" Berawal dari pertemuan yang tidak disengaja, seorang gadis remaja si kutu buku bertemu dengan seorang pria yang ta...