KELOMPOK

93 11 4
                                    

"Wen, kita masuk kelompok elo, ya!" pinta Fandy sambil merangkul bahuku setelah dosen keluar kelas. Aku tahu, 'kita' yang Fandy maksud adalah 'kami', yang berarti dirinya dan Intan, kekasihnya. Mereka adalah satu-satunya pasangan pra-ospek angakatanku, yang melanjutkan kisah asmara SMA ke jenjang sarjana. Lebih baik dari Dilan dan Milea. Ups. (Mas...)

Belum sempat aku mengiyakan, Intan turut mendekat, duduk di kursi depan, menghadapkan tubuh ke arahku. "Boleh, ya, Wen?" katanya dengan tatapan bola mata hitam yang melas. Bagaimana bisa aku menolak Fandy, teman satu kelompok waktu ospek, dan kekasihnya yang mampu menampilkan wajah melas?

"Boleh, lah." jawabku pada keduanya. Bukan GR. Memang sejak semester satu, ide-ide praktikku selalu ditanggapi positif oleh dosen. Jadi lumayan jadi incaran teman-teman yang perlu jaminan mutu.

"Siapa lagi nih, Wen, yang kita ajak?" tanya Fandy semangat, terkait jumlah maksimal satu kelompok yang dibatas dosen mata kuliah Produksi Acara Televisi adalah tujuh orang.

"Gue udah ajak Riki." jawabku.

"Rikinya mana?" tanya Fandy.

"Nggak masuk." jawabku.

Fandy mengernyit ke hadapanku. "Nanti nggak kerja lagi dia pas produksi."

Aku menggeleng. "Kalau Produksi dia semangat, kok, Fan. Hari ini dia nganter omnya ke rumah sakit." aku memberi penjelasan sebelum menenggak air mineral yang aku isi ulang dari dispenser fakultas.

Fandy mengangguk lalu bertanya, "Omnya kena?" ucapnya dengan wajah penuh kengerian.

"Barus suspect katanya." jawabku.

"Oh." angguk Fandy. "Kotak-kotak dong, Wen, perutnya?"

"Bodo amat, lah, Fan."

"Aku boleh ajak Ratri nggak, Wen?" tanya Intan tiba-tiba.

Aku tersedak air mineral yang sedang kutenggak, tapi harus mengangguk dengan cepat.

"Boleh, lah!" jawabku setelah susah payah menelan air dengan sedikit semburan yang hampir mengenai wajah Fandy. "Boleh, boleh!" ulangku agar Intan mendapat jawaban lebih pasti. "Kita perlu banget orang kaya Ratri di kelompok kita!"

"Siiip!" jawab Intan lalu bergegas bangun dan berjalan ke jajaran kusi terdepan menghampiri Ratri yang sedang memasukan alat tulis ke dalam tasnya.

"Emangnya Ratri kenapa, Wen? Kok kita butuh orang kaya dia?" tanya Fandy mendekatkan wajahnya pada wajahku.

"Ya," aku mikir dulu. "ya, yang rajin masuk." jawabku. "Yang rajin, dan bisa makeup, biar nggak perlu sewa crew makeup pas produksi."

Fandy nyengir kuda, seperti tahu sesuatu. "Sa ae, kaki tripod!"

Aku hanya membalas cengirannya dengan cengiran yang sama, demi terciptanya keseimbangan. Aku melihat ke arah Intan dan Ratri. Intan sedang menunjuk ke arahku dan Fandy. Membuat Ratri menoleh dan membuatku langsung pura-pura sedang tak melihatnya. Saat kulihat lagi, Ratri tampak mengangguk.

"Wendy!" teriak suara dari jajaran belakang, saat mahasiswa di barisan itu mulai melangkah menuju pintu kelas untuk keluar. Aku menoleh. Alex, mahasiswa kurus keriting yang sangat aktif di kelas Bahas Inggris. Ia berjalan mendekatiku. "Elo udah dapat kelompok, bro?"

"Udah, Lex. Nih, bareng Fandy."

"Oh, kiran belum." ujar Alex. "Tadinya gue mau ajak join."

"Siapa aja anggota elo, Lex?" tanyaku.

"Baru gue, Ratna, and Dimas."

"Wah, lebih satu." ujarku setelah berhitung cepat. "Kalau cuma berdua, mending kita merjer aja.

Tanpa pikir panjang Alex langsung memutuskan. "Ya sudah, gue sama Ratna!"

"Dimas gimana?"

Alex menoleh ke arah Dimas yang sedang ngobrol bareng mahasiswa lain. "Mas! Elo gue keluarin dari kelompok!"

Dimas menoleh. Ia melongo dulu. "Serius?" tanyanya.

"Iya." jawab Alex. "Gue mau gabungiin kelompok kita sama kelompoknya Wendy."

Dimas masih melongo. "Jadi elo mencampakkan gue? Kenapa nggak Ratna aja? Mumpung Ratnanya nggak masuk."

"Ratna emang nggak masuk dan nggak ada di dalam kelas." sahut Alex. "tapi dia ada di sini. In here!" tunjuk Alex ke dadanya sendiri. "Always."

Ketika itulah aku melihat sosok bucin yang sedang berharap satu kelompok denganku. Aku sempat mengira Alex hanya dekat dengan Ratna karena kepentingan kuliah. Ternyata lebih dalam dari itu.

"Bodo amat, lah!" balas Dimas berpaling lalu meninggalkan kelas sambil ngedumel.

"Oke, beres, Wen!" ujar Alex. "Gue sama Ratna gabung kelompok elo, ya?"

Keputusan sadis Alex kepada Dimas hanya mungkin terjadi ketika akalmu dibutakan cinta. Aku menunggu Dimas sampai keluar kelas, sebagai bentuk keprihatinan, baru mengangguk. "Oke, Lex, boleh. Tapi elo yakin Ratna bisa kerja kelompok?" tanyaku, karena tahu Ratna jarang masuk kelas.

"Yakin, Wen!" seru Alex. "Dia nggak masuk karena nungguin ibunya di puskesmas. Adiknya yang SMP juga kena dan dirawat di puskesmas yang sama."

Aku mengangguk. "Sakit apa?" tanyaku.

"Still wait kepastian." jawab Alex. "Gejalanya sih mirip sama yang lagi viral."

Aku menggeleng. Melihat juga Fandy melakukan hal yang sama.

"Semoga bukan Zika." ucap Fandy.

"Semoga." anggukku setuju.

"Guys, Ratri jadi ya gabung sama kita." timbrung Intan yang telah kembali dari mengajak Ratri yang muncul menyapaku, Fandy, dan Alex.

"Gabung ya, teman-teman."

Aku mengangguk dengan cepat dan semangat. "Dengan senang hati, Tri." sahutku tak berhenti memandang wajahnya. Jarak pandang terdekat selama empat semester sering satu kelas dengannya. Ternyata Ratri punya tahi lalat di pipi kiri yang kecil dan samar.

Begitulah kelompok produksiku terbentuk. Kelompok bucin plus fakir asmara yang mulai jatuh cinta. Sebelum akhirnya kembali kecewa.

ZOMBLO APOCALYPSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang